BAB I
PENDAHULUAN
Dewasa ini kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak marak terjadi
di sekitar kita, banyak sekali factor pemicu terjadinya kekerasan terhadap
anak. Salah satunya yaitu kurangnya
kesadaran dari masing-masing individu sehingga pada akhirnya hal ini berdampak
tak hanya pada anak, bisa jadi juga pada orang-orang terdekat kita yang berada
di sekitar kita.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak selalu
membawa dampak positif bagi kehidupan sebagian manusia. Hal ini mengakibatkn
individu semakin rentan mengalami gangguan baik fisik maupun kejiwaan karna
tingkat stressor yang tinggi. Gangguan kejiwaan atau psikologis seperti kecemasan,
stress, frustasi, agresivitas, perilaku anarkis, dan gangguan emosi lain
semakin meningkat yang bisa mengakibatkan jumlah kekerasan secara umum terutama
dalam rumah tangga semakin meningkat.
Kecenderungan terjadinya peningkatan anak mengalami gangguan emosi
dan social tidak hanya terjadi pada negara atau derah tertentu tetapi telah
menjadi fenomena global di seluruh dunia. Berdasr hasil survey yang dilakukan ,
ternyata ditemukan hasil bahwa generasi sekarang lebih banyak mengalami
kesulitanemosi dan social daripada generasi sebelumnnya, generasio sekarang
cenderung lebih kesepian, pemurung, mudah cemas, gugup, implusif dan agresif, faktor
yang paling dominan adalah ruang lingkup keluarga yang kurang baik,
Paparan tersebut perlu ditangani secara seksama, Anak sebagai
generasi penerus perlu dibekali kemampuan untuk mengoptimalkan seluruh potensi
yang dimiliki dan meminimalkan kelemahan-kelemahan yang ada. Guru dan orang tua
sebagai orang dewasa di sekitar anak, memegang peranan penting dalam
mengoptimalkan potensi anak, baik fisik, kognitif, spiritual, maupun emosional.
BAB II
KEKERASAN TERHADAP ANAK
A. PENGERTIAN KEKERASAN TERHADAP ANAK
Pengertian kekerasan terhadap anak adalah segala
sesuatu yang membuat anak tersiksa, baik secara fisik, mental, maupun
psikologis. Oleh para ahli, pengertian kekerasan terhadap anak ini banyak
definisi yang berbeda-beda.
Menurut Fontana (1971) dalam Soetjiningsih (2005)
memberikan pengertian kekerasan terhadap anak dengan definisi yang lebih luas
yaitu memasukkan malnutrisi dan menelantarkan anak sebagai stadium awal dari
sindrom perlakuan salah, dan penganiayaan fisik berada pada stadium akhir yang
paling berat dari spektrum perlakuan salah oleh orang tuanya atau
pengasuhannya.
Menurut WHO (2004 dalam Lidya, 2009) kekerasan
terhadap anak adalah suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak
dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan
eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata ataupun tidak dapat
membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat, atau perkembangannya,
tindakan kekerasan diperoleh dari orang yang bertanggung jawab, dipercaya, atau
berkuasa dalam perlindungan anak tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud kekerasan
terhadap anak adalah perilaku salah baikdari orang tua, pengasuh, dan
lingkungan dalam bentuk perlakuan kekerasan fisik, psikis, maupunmental yang
termasuk didalamnya eksploitasi, mengancam, dan lain-lain terhadap anak.
B. BENTUK-BENTUK KEKERASAN TERHADAP ANAK
Tindakan
kekerasan atau pelanggaran terhadap hak anak tersebut dapat terwujud setidaknya
dalam empat bentuk. Pertama, kekerasan fisik. Bentuk ini paling mudah dikenali.
Terkategorisasi sebagai kekerasan jenis ini adalah; menampar, menendang,
memukul/meninju, mencekik mendorong, menggigit, membenturkan, mengancam dengan
benda tajam dan sebagainya. Korban kekerasan jenis ini biasanya tampak secara
langsung pada fisik korban seperti :
luka
memar, berdarah, patah tulang, pingsan dan bentuk lain yang kondisinya lebih
berat.
Kedua,
kekerasan psikis. Kekerasan jenis ini, tidak begitu mudah untuk dikenali.
Akibat yang dirasakan oleh korban tidak memberikan bekas yang nampak jelas bagi
orang lain. Dampak kekerasan jenis ini akan berpengaruh pada situasi perasaan
tidak aman dan nyaman, menurunkan harga diri serta martabat korban. Wujud
konkrit kekerasan atau pelanggaran jenis ini adalah; penggunaan kata-kata
kasar, penyalahgunaan kepercayaan, mempermalukan orang di depan orang lain atau
di depan umum, melontarkan ancaman dengankata-kata dan sebagainya. Akibat
adanya perilaku tersebut biasanya korban akan merasa rendah diri, minder,
merasa tidak berharga dan lemah dalam membuat keputusan (deccision making).
Azevedo & Viviane
mengklasifikasikan bentuk kekerasan psikologis pada anak. Bentuk kekerasan ini
dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :
1. Kekerasan
anak secara fisik, adalah penyiksaan, pemukulan, dan penganiayaan terhadap
anak, dengan atau tanpa menggunakan benda-benda tertentu, yang menimbulkan
luka-luka fisik atau kematian kepada anak. Bentuk luka dapat berupa lecet atau
memar akibat persentuhan atau kekerasan benda tumpul, seperti bekas gigitan,
cubitan, ikat pinggang atau rotan. Dapat pula berupa luka bakar akibat bensin
panas atau berpola akibat sundutan rokok atau setrika. Lokasi luka biasanya
ditemukan pada daerah paha, lengan, mulut, pipi, dada, perut, punggung atau
daerah bokong. Terjadinya kekerasan terhadap anak secara fisik umumnya dipicu
oleh tingkah laku anak yang tidak disukai orangtuanya, seperti anak nakal atau
rewel, menangis terus, minta jajan, buang air, kencing atau muntah disembarang
tempat, memecahkan barang berharga.
2. Kekerasan
anak secara psikis, meliputi penghardikkan, penyampaian kata-kata kasar dan
kotor, memperlihatkan buku, gambar atau film pornografi pada anak. Anak yang
mendapatkan perlakuan ini umumnya menunjukkan gejala perilaku maladaftif,
seperti menarik diri, pemalu, menangis jika didekati, takut keluar rumah dan
takut bertemu orang lain.
3. Kekerasan
anak secara seksual, dapat berupa perlakuan prakontak seksual antara anak
dengan orang yang lebih besar (melalui kata, sentuhan, gambar visual, exhibitionism),
maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan orang dewasa
(incest, perkosaan, eksploitasi seksual).
4. Kekerasan anak secara sosial, dapat mencakup penelantaran anak
dan eksploitasi anak. Penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua
yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak.
Misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga, atau tidak diberikan
pendidikan dan perawatan kesehatan yang layak. Eksploitasi anak menunjuk pada
sikap diskriminatif atau perlakuan sewenang-wenang terhadap anak yang dilakukan
keluarga atau masyarakat. Sebagai contoh, memaksa anak untuk melakukan sesuatu
demi kepentingan ekonomi, sosial atau politik tanpa memperhatikan hak-hak anak
untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan fisik, psikis dan
status sosialnya. Misalnya anak dipaksa untuk bekerja di pabrik-pabrik yang
membahayakan (pertambangan, sektor alas kaki atau industri sepatu) dengan upah
rendah dan tanpa peralatan yang memadai, anak dipaksa untuk angkat senjata,
atau dipaksa melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga melebihi batas kemampuannya.
BAB III
PERKEMBANGAN EMOSI ANAK
A.
PENGERTIAN
PERKEMBANGAN
Secara
sederhana Seifert dan Hoffnung mendefinisikan perkembangan sebagai “Long term
changes in a person growth feeling patterns of thinking, social relationship,
and motor skills.”[1]
Sedangkan menurut Chaplin,perkembangan di artikan :
1. Perkembangan yang berkesinambungan dan progresif dalam
organisme,dari lahir sampai mati.
2. Pertumbuhan.
3. Perubahan dalam bentuk dan dalam intregasi dari bagian-bagian
jasmaniah dalam bagian-bagian fungsional
4. Kedewasaan atau kemunculan pola-pola asasi dari tingkah laku yang tidak dipelajari.[2]
Jadi
kesimpulan umum dapat ditarik dari beberapa definisi di atas, bahwa
perkembangan adalah serangkaian perubahan yang berlangsung secara terus-menerus
dan bersifat tetap dari fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki
individu menuju ke tahap kematangan melalui pertumbuhan, pematangan, dan
belajar.
B.
TAHAP-TAHAP
PERKEMBANGAN EMOSI ANAK
Ada
enam tahapan perkembangan emosi yang harus dilalui seorang anak. Pengalaman
emosional yang sesuai pada tiap tahap merupakan dasar perkembangan kemampuan
koginitif, sosial, emosional, bahasa, keterampilan dan konsep dirinya di
kemudian hari. Tahapan tersebut saling berkesinambungan, tahapan yang lebih
awal akan mempersiapkan tahapan selanjutnya. Anak-anak yang diasuh dengan
kehangatan dan tidak mengalami gangguan perkembangan biasanya akan mencapai
tahapan terakhir secara otomatis pada usia 4-5 tahun, namun anak-anak dengan
kebutuhan khusus membutuhkan bantuan dari orang tua dan profesional untuk bisa
mencapainya dengan lebih perlahan. Kapan / pada usia berapa tercapainya bukan
merupakan hal yang penting bila dibandingkan bagaimana pencapaiannya.
Berdasarkan
observasi cermat berkelanjutan, bisa diperkirakan pada taraf perkembangan emosi
yang mana seorang anak berada. Kemampuan mana yang sudah dikuasainya dengan
baik, mana yang membutuhkan penguatan dan mana yang sama sekali belum
berkembang. Pengamatan dilakukan saat bermain, berinteraksi dan melakukan
aktifitas sehari-hari. Pengamatan dimasukkan dalam daftar ‘rating scale’
disertai umur pencapaiannya (untuk skor A). N-never (kemampuan tersebut tidak
pernah tampak), S-sometimes (kemampuan tersebut kadang-kadang tampak), A-always
(kemampuan tersebut selalu tampak) dan L-loses (kemampuan tersebut hilang saat
stress: lapar, marah, lelah,dll). Enam tahapan perkembangan emosi anak
adalah :
1.
Regulasi diri dan minat terhadap
lingkungan
Kemampuan
anak untuk mengolah rangsang dari lingkungan dan menenangkan diri. Bila anak
masih belum mampu meregulasikan diri maka ia akan tenggelam dalam usaha mencari
rangsang yang dibutuhkannya atau sebaliknya menghindari rangsang yang
membuatnya tidak nyaman. Dengan demikian ia tidak bisa memperhatikan lingkungan
secara lebih bermakna.
2.
Keakraban keintiman
Kemampuan
anak untuk terlibat dalam suatu relasi yang hangat, akrab, menyenangkan dan
penuh cinta. Pengasuh merupakan hal terpenting dalam dunianya.
3.
Komunikasi dua arah
Kemampuan anak untuk terlibat dalam komunikasi dua arah,
menutup siklus komunikasi (aksi-reaksi). Komunikasi di sini tidak harus verbal,
yang penting ia bisa mengkomunikasikan intensi/tujuannya dan kemudian mengenal
konsep sebabakibat (berpikir logis) dan konsep diri. la mulai menyadari bahwa
tingkah lakunya berdampak terhadap lingkungan. Sehingga
mulai muncul keinginan untuk aktif memilih/ menentukan pilihan dan berinisiatif.
4.
Komunikasi kompleks
Kemampuan anak untuk menciptakan komunikasi kompleks
(sekitar 10 siklus), mengekspresikan keinginan dan emosi secara lebih berwarna,
kompleks dan kreatif. Mulai menyertakan keinginannya dalam bermain, tidak hanya
mengikuti perintah atau petunjuk pengasuh/orang tua.
Selanjutnya hal ini akan menjadi dasar terbentuknya
konsep diri dan kepribadian. la mampu memahami pola karakter dan tingkah laku
orang lain sehingga mulai memahami apakah tingkah lakunya disetujui atau tidak,
akan dipuji atau diejek, dll sehingga mulai berkembang kemampuan memprediksi
kejadian dan kemudian mengarah pada kemampuan memecahkan masalah berdasarkan
keurutan logis.
5.
Ide emosional
Kemampuan
anak untuk menciptakan ide, mengenal
simbol, termasuk bahasa yang melibatkan emosi. Kemampuan menciptakan ide
awalnya berkembang melalui permainan pura-pura yang memberikan kesempatan
bereksperimen dengan perasaan, keinginan dan harapan. Kemudian ia mulai memberi nama pada benda-benda
sekeliling yang berarti, disini ia mulai mengerti penggunaan simbol benda
konkrit. Kemudian simbol menjadi semakin meluas pada aktifitas. dan emosi dan
ia belajar kemampuan memanipulasi ide untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya
6.
Berpikir emosional
Kemampuan anak untuk menciptakan kaitan antar berbagai
ide sehingga mampu berpikir secara logis dan sesuai dengan realitas. Mampu
mengekspresikan berbagai emosi dalam bermain, memprediksi perasaan dan akiba’
dari suatu aktifitas, mengenal konsep ruang, waktu serta bisa memecahkan
masalah secara verbal dan memiliki pendapatnya sendiri. Bila anak bisa mencapai
kemampuan ini maka ia akan siap belajar berpikir abstrak dan mempolajari
strategi berpikir.
BAB
IV
DAMPAK
KEKERASAN TERHADAP ANAK
1.
Menumpulkan Hati Nurani
a. Menghambat perkembangan moral anak
b. Membuat anak melakukan kekerasan juga
c.
Meningkatkan
perilaku kenakalan
d. Membuat anak senang mengejek dan menindas yang lemah
e.
Merusak
kesehatan jiwa anak
f.
Sering menghayal
jadi tokoh jahat dalam TV,game,atau film
g.
Senang
menonton tayangan tentang kekerasan
h. Merusak hubungan antara orang tua dan anak
2.
Membuat Anak Terlibat Perbuatan Kriminal
a.
Cenderung
melestarikan sikap kekerasan kepada generasi berikutnya, dengan dalih disiplin,
mendidik.
b.
Memasuki
bidang-bidang pekerjaan yang melibatkan perilaku kekerasan Mudah percaya atau
termakan proopaganda seperti para pengikut hitler, milosevic,stalin.
c.
Sikap
patuh secara berlebihan kepada pemimpin (atasan), tetapi akan menindas yang
lemah.
d. Sering tidak mengerti hubungan antara sikapnya yang keras
terhadap pihak yang lemah, karena perasaan menderita akibat kekerasan ini
tersimpan dalam alam bawah sadarnya.
3.
Membuat Anak Gemar Melakukan Teror Dan Ancaman
Anak yang hatinya mengeras seperti
batu, ibaratnya “bom” yang siap meledak apabila ada pemicunya. “ledakan bom”
ini akan membawa kerusakan yang luar biasa. Jadi akar dari semua tindakan
kekerasan dimasyarakat,seperti kriminalitas,konflik, dan perang adalah adanya
tradisi kekerasan terhadap anak.
4.
Membuat Anak Rendah Diri/Minder
Ketika anak dicaci maki atau dipukul,
maka pesan yang ditangkap anak adalah “kamu adalah anak yang tidak
berharga,memalukan, sehingga aku muak dengan kamu”maka anak akan merasa ditolak
oleh orang tuanya. Suatu saat anak akan terjebak rayuan yang menghilangkan
perasaan rendah dirinya: gang remaja, terlibat perkelahian, ingin menjadi
jagoan, kecanduan alkohol dan narkoba, ketidak stabilan emosi,mudah sedih,tidak
mampu menghadapi tekanan, mudah tersinggung dan marah,selalu khawatir, was-was,
penuh curiga, menarik diri dari pergaulan,tidak dapat bersifat hangat,tidak
dapat mengekspresikan diri,dll.
5.
Menimbulkan Kelainan Perilaku Seksual
Pemukulan pada daerah “bokong” anak
dapat menumbuhkan perasaan nikmat seksual secara dini. Mereka tidak dapat
mengerti mengenai perasaan tersebut. Setelah dewasa mereka melakukan keanehan
seksual ini biasanya mereka mencari pelacur. Selain itu anak korban pemukulan
merasa dirinya tidak berharga, karena terbiasa merasa sakit karena pukulan,
anak-anak ini akan mudah menyerahkan tubuhnya untuk diperlakukan secara tidak
senonoh setelah dewasa, sehingga ia mudah menjadi korban phedhophyl.
6.
Mengganggu Pertumbuhan Otak Anak
Menurut DR.Bruce D perry, para kriminal
dan pelaku kekerasan memang mempunyai batang otak dan otak tengah dominan,
bagian otak ini disebut otak reptil, dimana sifat hewani berasal, sedangkan
otak limbic (emosi/cinta) dan korteks(berpikir)lemah, dan pertumbuhan otak ini
sangat dipengaruhi lingkungan. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran para
orang tua dan guru untuk selalu menciptaka emosi positif bagi anak-anaknya.
Ingat pada usia 5 th pertumbuhan otak mencapai 90%, 100 % pada usia 8 tahun.
7.
Membuat Prestasi Belajar Anak Rendah
Anak yang sering mendapat kekerasan
dirumah, biasanya senang melakukan keonaran dan cenderung berkumpul dengan
teman-teman yang memiliki kesamaan. Hasil studi yang melibatkan 960 anak di Amerika
menunjukkan IQ yang lebih rendah akibat pemukulan oleh orang tua. Dengan cara
berdiskusi dan menganalisa suatu masalah dengan anak, maka anak lebih banyak
berpikir menjadi kritis dan pandai.
BAB
V
SOLUSI
TERHADAP KEKERASAN PADA ANAK
Solusi untuk mereduksi
meningkatnya jumlah kekerasan terhadap anak di Indonesia dapat dilakukan oleh
orang tua, guru sebagai pendidik, masyarakat dan pemerintah.
1. Orang Tua.
Para orang tua
seharusnya lebih memperhatikan kehidupan
anaknya. Orang tua dituntut kecakapannya dalam mendidik dan menyayangi anak-anaknya.
Jangan membiarkan anak hidup dalam kekangan, mental maupun fisik. Sikap
memarahi anak habis-habisan, apalagi tindakan kekerasan (pemukulan danpenyiksaan
fisik) tidaklah arif, karena hal itu hanya akan menyebabkan anak
merasa tidak diperhatikan, tidak disayangi. Akhirnya anak merasa trauma,
bahkan putus asa.
Pentingdisadari orang
tua bahwa anak dilahirkan ke dunia ini dilekati dengan berbagai hak yang layak didapatkannya. Seorang anak memiliki hak
untuk mendapatkan pengasuhan yang baik, kasih sayang, dan perhatian.
Anak pun memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang baik di keluarga maupun
di sekolah, juga nafkah (berupa pangan, sandang dan papan). Bagaimanapun
keadaannya, tidak wajib seorang anak menafkahidirinya
sendiri, sehingga ia harus kehilangan banyak hak-haknya sebagai anak karena harus
membanting tulang untuk menghidupi diri (atau bahkan keluarganya).
Dalam kasus kekerasan pada anak, siklus kekerasan dapat
berkembang dalam keluarga. Individu yang mengalami kekerasan dari orang tuanya
dulu, memiliki kecenderungan signifikan untuk melakukan hal yang sama pada
anak mereka nanti. Tingkah laku agresi dipelajari melalui pengamatan dan imitasi, yang secara
perlahan terintegrasi dalam sistem kepribadian orang tua. Oleh karena itu
penting bagi orang tua untuk menyadari sepenuhnya bahwa perilaku mereka merupakan model rujukan bagi anak-anaknya, sehingga
mereka mampu menghindari perilaku yang kurang baik.
2.
Guru.
Peran seorang guru dituntut untuk menyadari bahwa pendidikan di Negara
kita bukan saja untuk membuat anak pandai dan pintar, tetapi harus juga dapat
melatih mental anak didiknya. Peran guru dalam memahami kondisi siswa sangat
diperlukan.Sikap arif, bijaksana, dan
toleransi sangat diperlukan. Idealnya seorang guru mengenal betul
pribadi peserta didik, termasuk status sosial orang tua murid sehingga ia dapat
bertindak dan bersikap bijak.
3.
Masyarakat.
Anak-anak kita ini
selain bersentuhan dengan orang tua dan guru, mereka
pun tidak bisa lepas dari berbagai persinggungan dengan lingkungan masyarakat dimana
dia berada. Untuk itu diperlukan kesadaran dan kerjasama dari berbagai elemen di masyarakat untuk turut memberikan nuansa
pendidikan positif bagi anak-anak kita ini.Salah satu elemen tersebut
adalah pihak pengelola stasiun TV. Banyak risetmenyimpulkan bahwa pengaruh media (terutama TV) terhadap perilaku anak
(sebagaisalah satu penikmat acara TV) cukup besar. Berbagai tayangan
kriminal di berbagaisatsiun TV, tanpa kita sadari telah menampilkan
potret-potret kekerasan yang tentu akanberpengaruh pada pembentuk mental dan
pribadi anak. Penyelenggara siaran TV bertanggungjawab untuk mendesain acaranya
dengan acara yang banyak mengandungunsur edukasi yang positif.
4.
Pemerintah.
Pemerintah adalah pihak yang bertanggung
jawab penuh terhadap kemashlahatan rakyatnya, termasuk dalam hal ini adalah menjamin
masa depan bagianak-anak kita sebagai generasi penerus.
Penutup
Upaya penanggulangan kekerasan terhadap anak jelas
menjadi kewajiban pemerintah,yang didukung oleh keluarga dan masyarakat.
Masyarakat Indonesia modern ternyatabelum sadar bahwa anak memiliki hak penuh untuk
diperlakukan secara manusiawi.Anak harus
mendapatkan jaminan keberlangsungan hidup dan perkembangannya dibawah
naungan ketetapan hukum yang pasti, yang harus dijalankan semua pihak,
baik keluarga masyarakat maupun
pemerintah (negara). Sehingga anak bisa tumbuh dan berkembang dengan baik serta
jauh dari berbagai tindak kekerasan. Kita menyadari bahwa kekerasan
telah meremukkan kekayaan imajinasi, keriangan hati, kreatifitas,bahkan masa depan anak-anak kita.
Daftar Pustaka
-
Abu Huraerah. (2006). Kekerasan Terhadap Anak Jakarta:Penerbit Nuansa,Emmy Soekresno S. Pd.(2007).
-
Mengenali Dan Mencegah Terjadinya
TindakKekerasan Terhadap Anak.
Sumber : Komisi Perlindungan Anak Indonesia,http://www.kpai.go.id
-
Pemerintah Akan Mulai Gerakan Nasional
PenghentianKekerasan Terhadap Anak
-
Kekerasan Pada Anak:
Efek Psikis, Fisik, dan Tinjauan Agama
-
UU PA No. 23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak
Seseorang/sosok wanita yang sangat Sa rindukan...
ReplyDelete(Dilwale, 2015) mari kita mulai hidup baru. Dan tak ada yang harus melihat masa lalu