Dalam keberagaman suku daerah di Indonesia, ada beberapa
suku yang sering kita sebut sebagai “suku-suku bangsa yang terasing”. Hal
tersebut bisa bermakna kurang positif, primitive, serba ketinggalan dan
sebagainya.
Mereka umumnya bermukim didaerah yang susah dijangkau di
hutan belantara. Tidak mengenal apa itu modern, tehnologi, dan kemajuan
lainnya. Selanjutnya “keterasingan mereka” lebih diakui dalam arti
sosial-budaya, yaitu terdapatnya kesenjangan antara taraf sosial-budaya
suku-suku bangsa yang bersangkutan dengan keadaan bangsa Indonesia pada
umumnya.
Dimasa kini memang paling dirasakan kesenjangan itu, bahkan
taraf keadaan suku bangsa tersebut menjadi kendala dalam usaha pembangunan yang
kita usahakan sebagai bangsa.
Salah satu dari “suku-suku bangsa yang terasing” yang ada
hingga saat ini diantaranya adalah suku Mentawai. Orang Mentawai mendiami empat
pulau besar yakni Siberut, Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora yang terletak
di bagian paling barat pulau Sumatera. Mereka tinggal di hutan tropik yang
lebat yang belum pernah atau sudah sejak lama tidak ditebang manusia. Dari
deretan pegunungan yang membujur ditengah-tengah ke empat pulau tadi,
mengalirlah puluhan air sungai dengan derasnya. Jika kita tengok dari laut,
maka kepulauan Mentawai seolah tak berpenghuni karena hanya pantai kosong dan
deret pohon-pohon kelapa.
Kebanyakan dari suku Mentawai tinggal di kampung-kampung.
Kampung tersebut terletak di pinggir sungai di pedalaman, Walaupun ada pula
yang letaknya di pinggir pantai. Tiap kampung terdiri dari tiga sampai lima
wilayah yang disebut perumaan, yang berpusat pada satu rumah adat yang besar
atau Uma.
Uma merupakan bangunan yang besar dan megah. Panjang Uma
mencapai hingga 25 meter dan lebarnya berkisar 10 meter. Kerangka Uma terbuat
dari kayu bakau, lantainya dari batang nibung, dinding rumahnya dari kulit
kayu, sedangkan atapnya dari daun sagu. Fungsi dari Uma sendiri adalah sebagai
balai pertemuan umum untuk upacara dan pesta adat bagi anggota-angotanya yang
semuanya masih terikat hubungan kekerabatan menurut adat.
Masyarakat Mentawai masih amat tertutup sampai sekarang,
adat istiadat juga masih menghiasi hidup orang. Pelanggaran adat tidak hanya
menyebabkan seseorang akan dikucilkan, tapi juga akan dikenakan sangsi adat
atau tulon. Mereka adalah cerminan dari orang-orang yang menjunjung tinggi
adat-istiadat dari nenek moyang.
Kepercayaan asli suku Mentawai
Mayoritas orang Mentawai memeluk agama Katolik, dan sebagian
beragama Protestan, Islam, atau Bahai. Namun demikian, sebagaian penduduk
Mentawai masih tetap memegang teguh religinya yang asli, yaitu Arat Sabulungan.
Arat berarti adat, Sa berarti seikat dan bulungan berarti daun.
Disebut Sabulungan karena dalam setiap acara ritualnya
selalu menggunakan daun-daun yang dipercaya dapat menghubungkan manusia dengan
Sang Maha Kuasa atau disebut sebagai Ulau Manua (Tuhan). Pada dasarnya
sabulungan mengajarkan keseimbangan antara alam dan manusia. Kepercayaan itu
mengjarkan bahwa manusia harus memperlakukan alam, tumbuh-tumbuhan, air, dan
binatang seperti dirinya.
Dalam kepercayaan suku Mentawai tentang daun atau lebih
luasnya lagi pohon atau hutan merupakan tempat bersemayam bagi para dewa-dewa
yang harus dihormati. Jika tidak, maka malapetakalah yang akan ditemui. Ada
tiga dewa yang dihormati dalam ajaran Sabulungan. Pertama Tai Kalelu, yakni
dewa hutan dan gunung. Pesta adat sebelum berburu selalu dipersembahkan kepada
dewa ini. Kedua adalah Tai Leubagat, yang merupakan dewa laut. Ketiga yaitu Tai
Kamanua, yang merupakan dewa langit sang pemberi hujan dan kehidupan.
Dahulu Arat Sabulungan dijadikan sebagai norma dalam
penentuan segala hubungan manusia dengan alam dan dalam hubungan batin khusus
dengan Tuhannya. Alam sangat dihormati oleh suku Mentawai begitu juga dengan
hewan karena mereka percaya bahwa semua itu ada pemiliknya yang mempunyai
kekuatan yang sangat besar yang jika diganggu akan mendatangkan bencana.
Rasa
persaudaraan ketika masyarakat Mentawai masih menganut Arat tersebut sangatlah
dekat. Bagi siapa saja yang melanggar Arat akan dijatuhi hukuman yang
ditentukan dalam musyawarah Uma. Mereka
berkeyakinan bahwa jika ada salah satu yang melanggar maka semua akan terkena
dampaknya.
Hampir musnah
Seiring pengaruh yang masuk dari luar, baik di masa
penjajahan atau setelah kemerdekaan Indonesia, Arat Sabulungan tidak bisa
dilakukan lagi dalam bentuk formal. Arat Sabulungan dianggap sebagai
kepercayaan yang sesat, bahkan segala atribut mereka dibakar dan dimusnahkan.
Padahal yang mereka sembah adalah pengusa langit dan bumi yang tidak kelihatan,
yang sejumlah agama disebut Tuhan. Saat pemerintah hanya menetapkan lima agama
yang boleh dianut oleh masyarakat, akhirnya perlahan-lahan kepercayaan ini
hilang.
Pada tahun 1950-an kehancuran Arat Sabulungan semakin
menjadi karena gencarnya masuknya agama ke Mentawai. Pada mulanya masyarakat
Mentawai menolak dengan keras bahkan melakukan perlawanan fisik dengan
kedatangan agama tersebut karena mereka beranggapan bahwa mereka sudah
mempunyai agama yang dijadikan pegangan hidup. Beberapa penduduk ditangkap dan
dipenjarakan untuk memaksa agar orang Mentawai meninggalkan Arat Sabulungan dan
menganut agama impor tersebut. Betapa suramnya masa itu, masyarakat ketakutan
dalam menjalankan ritualnya karena tak ada belas kasihan bagi mereka yang
menjalankan kepercayaannya.
Pemaksaan itulah yang menghancurkan kepercayaan suku
Mentawai, baik dari simbol maupun dari nilai luhur yang ada padanya. Peradaban
Mentawai dihancur leburkan oleh kepercayaan asing tersebut. Namun dalam
perkembangan setelah agama tadi masuk, agama tersebut tidak banyak memberikan
ketentraman dalam jiwa mereka. Agama telah menghancurkan budaya dan kearifan
lokal tersebut, dan yang lebih mengerikan lagi adalah generasi muda Mentawai
yang kehilangan identitas akan keaslian suku mereka. Para misionaris dan
pemerintah Indonesia telah menghancurkan peradaban Mentawai, menjadikan suku
Mentawai asing di tanahnya sendiri dikarenakan budaya mereka yang punah.
Beruntung Mentawai bagian Siberut masih gigih mempertahankan
kepercayaan dan nilai itu. Mereka setengah mati mempertahankan Arat Sabulungan
yang diyakininya. Namun, di Mentawai bagian selatan seperti pulau Pagai Utara,
Pagai Selatan, dan Sipora nilai luhur tradisi Arat Sabulungan telah menipis.
Pemaksaan dalam keyakinan yang dianut bagaimanapun caranya
merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan. Pemerintah seharusnya menjamin dan
melindungi kepercayaan tiap-tiap warga negara di republik ini. Demikian pula
keselarasan hidup orang Mentawai, akan terasa lebih tentram jika tanpa
pemaksaan terhadap keyakinan yang mereka anut. Semoga tidak ada lagi kisah
pemaksaan yang merenggut kebebasan keyakinan di negeri kita yang tercinta ini.
0 komentar:
Post a Comment