Hingga kini kronologis terjadinya peristwa 30 September 1965 yang kita kenal dengan sebutan G-30-S/PKI, masih menjadi misteri. Pasalnya, "kisah" yang disosialisasikan pemerintahan Orde Baru terkait peristiwa itu, bahkan didokumentasikan dalam bentuk film layar lebar dengan judul yang sama, dianggap tidak akurat karena dinilai tidak sesuai dengan fakta sejarah yang sebenarnya.
Dari berbagai refrensi yang diperoleh, diketahui kalau salah satu tragedi paling berdarah dalam sejarah Tanah Air kita itu merupakan hasil konspirasi antara ambisi segelintir anak negeri yang ingin menjadi penguasa, dengan kepentingan asing yang tergiur oleh kekayaan alam Indonesia yang gemah ripah loh jinawi. Karenanya, tak heran jika tragedi yang menelan korban hingga ratusan ribu jiwa itu dibicarakan dan nama CIA (Central Intelligence Agency) pasti disebut-sebut. Tapi benarkah Amerika Serikat terlibat dalam tragedi yang berbuntut pada tergulingnya Soekarno dari kursi kepresidenan itu?
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, penulis buku itu, M. Sembodo, secara gamblang menuding kalau tiga nama yang dijadikan judul bukunya itu merupakan pihak-pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya tragedi memilukan tersebut. Bahkan Sembodo menyebut, di antara ketiga nama itu, Pater Beek lah yang berperan besar mencetuskan peristiwa 30 September, sementara Freemason dan CIA bertindak sebagai penyokong dan penyedia dana beserta semua fasilitas yang dibutuhkan.
Dalam buku-buku sejarah Indonesia yang diterbitkan pemerintah Orde Baru, nama Pater Beek maupun Freemason sama sekali tak tercantum, namun dalam buku-buku yang ditulis para penulis lepas dan pemerhati teori konspirasi, nama-nama ini dengan mudah dapat ditemukan karena keduanya memang ada dan sangat mewarnai perjalanan sejarah bangsa ini.
Para Mason ditenggarai mulai masuk Indonesia bersamaan dengan kedatangan VOC ke Indonesia sekitar abad 14. Ini terindikasi dari lambang VOC yang berupa dua huruf "V" yang dipasang sedemikian rupa, sehingga jika ujung-ujung kedua huruf "V" itu ditarik, maka akan membentuk Bintang David, lambang bangsa Yahudi yang juga digunakan para Mason sebagai salah satu simbol organisasi mereka. Hanya saja, karena yang masuk ke Indonesia adalah Para Mason dari Belanda, di Indonesia mereka lebih dikenal dengan nama Vrijmetselarij yang dalam bahasa Inggris berarti Freemasonry.
Dalam buku-buku sejarah yang dicetak Orde Baru, dijelaskan apa itu VOC dan bagaimana kiprahnya di Indonesia. Dan faktanya memang begitu. Selama berada di Nusantara, VOC sukses mengeruk kekayaan Indonesia, yang di antaranya berupa rempah-rempah, dan menjadikan perusahaan itu sebagai salah satu perusahaan tersukses di zamannya. VOC adalah perusahaan yang didirikan oleh 17 pengusaha Yahudi yang bermukim di Amsterdam. Karenanya, tidak heran jika perusahaan itu dapat menjadi kendaraan bagi para Mason untuk tiba di Indonesia.
Pater Beek
Pater Beek lahir pada 12 Maret 1917 dengan nama lengkap Josephus Beek. Ia seorang penganut agama Katolik yang taat dan merupakan anggota Ordo Jesuit, sebuah sekte dalam agama Kristen yang didirikan Ignatius Loyola, Fransiscus Xaverius dan lima rekannya di Kapel Montmatre, Perancis, pada 15 Agustus 1534.
Ia tertarik pada Indonesia setelah mendengar cerita penduduk Amsterdam tentang sebuah negara yang kaya raya dengan mayoritas penduduk beragam Islam, namun sedang dijajah oleh negaranya; Belanda.
Kesempatan datang kala ia berusia 22 tahun tepatnya pada tahun 1939, Beek berkat rekomendasi ordonya dikirim ke Indonesia dengan mengemban dua misi, yakni menyebarkan agama Kristen dan melakukan kajian tentang pola hidup masyarakat di Pulau Jawa. Tujuan misi kedua ini jelas, demi melanggengkan penjajahan yang dilakukan negaranya terhadap Indonesia.
Beek bekerja dengan sangat baik. Ia mencatat apapun yang berhasil diamatinya dari kehidupan masyarakat Pulau Jawa setiap hari, dan yang paling membahayakan eksistensi penjajahan Belanda di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, adalah agama Islam yang mayoritas dipeluk masyarakatnya. Tak heran jika kelompok-kelompok perlawanan masyarakat terhadap Belanda dimotori oleh para pemuka agama Islam, contohnya Pangeran Diponegoro. Ia bahkan menyimpulkan, jika penjajahan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia ingin langgeng, maka Islam harus dilumpuhkan. Dengan cara ini Belanda bahkan mendapat keuntungan lain, yakni penduduk Pulau Jawa dapat diKristenkan dengan lebih mudah. Sekali tepuk, dua nyamuk mati. Sebuah usulan yang cerdik, cerdas dan licik. Sesuai dengan karekternya.
Selesai menjalankan tugas, Beek kembali ke negaranya, dan pada 1948 ditahbiskan menjadi pastur. Pada 1956 atau setahun setelah pemilu pertama dilaksanakan di Indonesia, ia kembali ke Nusantara dengan misi yang jauh lebih besar karena dia tak hanya kembali sebagai seorang misionaris, namun juga seorang anggota Freemasonry dan CIA.
Benarkah Beek Mason dan Anggota CIA?
Pada abad ke-13, Amsterdam hanyalah sebuah kota nelayan. Legenda orang Belanda menyebutkan, kota itu ditemukan oleh dua orang nelayan dari Frisian. Bersama anjing peliharaannya, kedua orang itu mendarat di pesisir Amstel. Karena kawasan di pesisir pantai ini kemudian tumbuh dan berkembang menjadi kota nelayan, maka namanya berubah menjadi Amsterdam yang berarti empang dalam bendungan Amstel.
Seiring berjalannya waktu, Amsterdam tumbuh menjadi kota perdagangan. Pesisir pantainya berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan yang selalu ramai oleh para pedagang yang datang dan pergi. Letaknya yang strategis, membuat kota ini tak lepas dari pengamatan dua negara tetangga Belanda yang sedang berebut tanah jajahan, yakni Spanyol dan Portugis. Spanyol-lah yang akhirnya berhasil menguasai kota ini, dan penduduk Amsterdam memberontak.
Namun, pemberontakan dapat diredam. Spanyol bahkan dapat memperluas tanah jajahannya hingga ke seluruh penjuru Belanda, sehingga pecah perang antara Belanda dengan Spanyol yang dikenal dengan sebutan ‘Perang 80 Tahun’.
Sejak awal pertumbuhannya, Amsterdam sangat terbuka bagi agama Kristen dan Yahudi. Bahkan jika di kota-kota lain di seluruh Eropa orang Yahudi dikucilkan, di Amsterdam justru mendapatkan jaminan keselamatan. Maka tak heran jika di antara seluruh kota di Belanda, hanya Amsterdam-lah yang memiliki penduduk berkebangsaan Yahudi dalam jumlah yang paling banyak.
Abad ke-17 merupakan puncak kejayaan Amsterdam, karena saat itu 17 pengusaha kaya Belanda mendirikan sebuah perusahaan bernama VOC, perusahaan yang kemudian menguras hasil bumi Indonesia, dan membuat Amsterdam semakin makmur. Bahkan akhirnya menjelma menjadi pusat perdagangan di Eropa.
Dari sejarah ini jelas bahwa sebelum kembali lagi ke Indonesia, bisa jadi Beek telah direkrut oleh Freemason karena banyak yang percaya bahwa lambang VOC merupakan kamuflase dari lambang Freemason yang berbentuk bintang David. Apalagi pemilik saham mayoritas di VOC adalah Yahudi yang bermukim di Amsterdam.
Seperti kita ketahui, Freemason berambisi mendirikan negara di Palestina dan menciptakan NWO (Tatanan Dunia Baru) dimana Yahudi sebagai penguasa negara-negara di seluruh dunia. Untuk mewujudkan kedua ambisi ini, Freemason membutuhkan dana yang sangat besar. Meski anggota organisasi persaudaraan rahasia ini merupakan orang-orang kaya yang berkecimpung di berbagai bidang, seperti pengusaha, politikus, ilmuwan, seniman dan sebagainya, namun mereka tetap membutuhkan sumber dana lain untuk mendukung perealisasian ambisi mereka. Maka VOC pun dilayarkan kemana-mana, termasuk ke Indonesia, negara yang kaya akan hasil bumi, terutama rempah-rempah.
Setelah Belanda menjajah Indonesia, VOC tersingkir. Freemason tentu saja tak ingin kehilangan pemasukan dari negara yang kaya ini, maka mereka menempuh beragam cara untuk tetap eksis di Indonesia. Di antaranya dengan mengembangkan organisasinya di Indonesia yang dinamakan Vrijmetselarij. Melalui organisasi ini, Freemason membuat jaringan di segala bidang, terutama di pemerintahan, agar antek-anteknya dapat disusupkan dan pemerintah dapat membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka, terutama dalam bidang investasi. Dengan gerakan bawah tanah seperti inilah Freemason mengeruk kekayaan Indonesia.
Penjajah Belanda tentu saja tahu akan hal ini, namun karena sepak terjang Freemason tidak merugikan, bahkan dalam beberapa hal menguntungkan, Belanda membiarkannya saja. Itu sebabnya selama Belanda menjajah Indonesia, Vrijmetselarij tumbuh dan berkembang dengan baik. Sepak terjang Vrijmetselarij yang mana yang menguntungkan Belanda?
Selama berkiprah di Indonesia, Vrijmetselarij merekrut anak bangsa dari berbagai kalangan, termasuk kalangan bangsawan. Dengan perekrutan seperti ini, tentu saja anak bangsa yang direkrut menjadi ‘sungkan’ terhadap Belanda dan semangat mereka untuk mendepak penjajah itu menjadi kendor. salah satu contoh yaitu Organisasi BO (Boedi Oetomo) yang pendiriannya dimotori Vrijmetselarij .
Jadi, jelas, dalam mengembangkan organisasinya di Indonesia, Freemason menerapkan politik adu domba. Sama dengan politik yang diterapkan Belanda selama menjajah Indonesia.
Dari sini dapat ditemukan benang merah mengapa Freemason merekrut Pater Beek, yakni adanya titik temu antara keinginan Beek kembali ke Indonesia, dengan tujuan Freemason untuk tetap dapat eksis di Bumi Pertiwi.
Jika Beek ingin kembali ke Indonesia karena ingin menghancurkan Islam agar negaranya tetap dapat menjajah, maka Freemason ingin Beek kembali ke Indonesia agar tetap dapat mengeruk kekayaan Indonesia. Tak peduli apapun cara yang dilakukan Beek. Kebetulan, Yahudi membenci Islam, sehingga upaya Beek menghancurkan Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, didukung sepenuhnya.
Freemason mengenal sosok Beek dari para petinggi Ordo Jesuit yang di antaranya bahkan ada yang menjadi anggota organisasi ini. Sejak pria ini direkomendasikan, minatnya telah menarik perhatian para petinggi organisasi itu untuk merekrut dan memanfaatkannya.
Jesuit, CIA dan Freemasonry
Fakta bahwa Beek adalah agen CIA selain diungkap di buku "Pater Beek, Freemason dan CIA" diungkap juga oleh Dr. George J. Aditjondro (penulis yang juga mantan anak buah Beek), dalam artikel berjudul ‘CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo, dan LB Moerdani. Dalam artikel ini, George menulis begini;
“Menurut cerita dari sejumlah pastur yang mengenalnya lebih lama, (Pater) Beek adalah pastur radikal anti-Komunis yang bekerja sama dengan seorang pastur dan pengamat China bernama Pater Ladania di Hongkong (sudah meninggal beberapa tahun silam di Hongkong). Pos China watcher (pengamat China) pada umumnya dibiayai CIA. Maka, tidak untuk sulit dimengerti jika Beek mempunyai kontak yang amat bagus dengan CIA. Sebagian pastur mencurigai Beek sebagai agen Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah seorang kardinal yang mengepalai operasi politik Katolik di seluruh dunia”. Fakta yang diungkap George inipun didukung Mujiburrahman dalam desertasi berjudul ‘Feeling Threatened Muslim-Cristian Relations in Indonesia’s New Orde’
Ketakutan Beek dan Freemasonry Terhadap SoekarnoSeperti tercatat dalam buku-buku sejarah yang dicetak di era Orde Baru, hasil Pemilu 1955 menempatkan Masyumi dan Nahdatul Ulama (NU) dalam empat besar partai politik di Indonesia, sehingga negara-negara barat, khususnya Amerika dan Belanda, menjadi cemas karena kepentingan mereka terhadap Indonesia yang kaya akan hasil bumi, sangat besar. Kekhwatiran ini muncul karena seperti tercatat dalam sejarah, umat Islam lah yang lebih banyak berada di garis depan dalam memerangi penjajahan Belanda dan intervensi asing, sehingga jika Islam di Indonesia makin menguat, maka akan makin sulitlah untuk dikuasai. Terlebih karena orientasi politik Presiden Soekarno kala itu memperlihatkan kecenderungan mengarah pada blok Timur yang terdiri dari China dan Uni Soviet yang beraliran Komunis. Kala itu Soekarno bahkan tak hanya membentuk Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), tapi juga tak pernah sungkan menghantam Amerika Serikat dan antek-anteknya setiap kali berpidato di forum-forum lokal maupun internasional.
Bagi Freemason yang berada di belakang Amerika dan Belanda, Soekarno jelas menjadi batu sandungan. Apalagi karena pada 1961, Soekarno melarang keberadaan Vrijmetselarij dan underbow-undebow-nya, sehingga semua kegiatan organisasi ini dan organisasi yang terkait dengannya, seperti Lions Club dan Rotarry Club, tak lagi dapat beraktifitas. Freemason mendukung Amerika karena organisasi inilah yang mendirikan negara super power itu, sehingga jangan heran jika semua presiden negara adidaya itu, seperti George Washington, Ronald Reagen, Bill Clinton, George W Bush dan juga Barack Obama, disebut-sebut sebagai anggota organisasi Yahudi itu, sehingga kepentingan Amerika sesungguhnya kepentingan Freemason juga.
Organisasi ini tak mau pergi dari Indonesia karena memiliki dua agenda besar yang ingin direalisasikan, dimana proses perealisasian agenda-agenda itu juga membutuhkan dana yang sangat tidak sedikit, yakni mendirikan negara Israel yang perealisasiannya pada 1947, dan menciptakan Tatanan Dunia Baru (New World Order) dimana mereka menjadi penguasa tunggalnya, yang hingga kini masih dalam proses.
Bagi Beek, menggulingkan Soekarno bukanlah sesuatu yang layak untuk ditentang, karena meski berorientasi ke Soviet dan China, dan cenderung sekuler, Soekarno seorang muslim yang sangat memperhatikan perkembangan intelektualisme umat Islam. Soekarno bahkan mendirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di beberapa wilayah di Indonesia untuk mencetak intelektual-intelektual Islam yang tak hanya mumpuni dalam hal keagamaan, namun juga berwawasan modern.
Pendirian IAIN ini membahayakan misi Beek, karena jika di Indonesia bermunculan orang Islam-orang Islam yang berpendidikan dan cerdas, maka misinya mengkatolikkan penduduk Pulau Jawa akan mengalami kendala besar. Bahkan eksistensi Katolik di Indonesia bisa saja terancam. Terlebih karena kala itu Soekarno juga sedang berupaya membebaskan Irian Barat yang masih dijajah Belanda, karena selain Pulau Jawa, pulau berbentuk kepala burung itu juga merupakan salah satu pusat pengKatolikkan di Indonesia.
Peran Penting Pater Beek dalam Gerakan 30 September
Dalam menjankan misi-misinya di Indonesia, Pater Beek tidak sendirian. Sedikitnya ada dua pastur yang membantunya, yaitu Pastur Melchers dan Djikstra. Hal ini diungkap peneliti asal Australia Richard Tanter. Dalam salah satu tulisannya yang dikutip Sembodo dalam buku "Pater Beek, Freemason dan CIA", Tanter menyatakan begini;
“(Pater) Beek mengawali proyeknya di tahun 1950-an, bersama dengan sejumlah kecil (anggota Ordo) Jesuit lainnya, termasuk Pastur Melchers dan Djikstra; kesemuanya ini memiliki pengaruh cukup besar dalam percaturan politik di Indonesia. Di mana masing-masing menata jaringan yang serupa dengan ‘kerajaan’ personal, tetapi dalam wilayah yang berbeda dan tetap saling berkoordinasi”.
Tentang adanya Pastur Djikstra di Indonesia, dibenarkan Mujiburrahman dalam desertasinya. Tapi, menurut dia, cara kerja Pater Beek dan Pastur Djikstra berbeda. Meski mengemban misi dan tujuan yang sama. Jika Pater Beek lebih mengedepankan aspek politik, dimana Katolik harus dapat mengontrol Indonesia agar kristenisasi dapat berjalan dengan lancar. Sedang Pastur Djikstra lebih mengedepankan aspek ekonomi, sehingga Katolik dapat menjadi penguasa, sekaligus pengendali jalannya perekonomian negara dan hasil-hasilnya.
Meski dibantu pastur-pastur dari Ordo Jesuit, Beek tetap menggunakan banyak orang untuk membentuk sebuah jaringan yang amat kuat. Jaringan itu adalah orang-orang yang berada di sekitarnya, yang note bene orang Indonesia, dan di antaranya bahkan beragama Islam. Orang-orang ini ia atur dan ia kendalikan sedemikian rupa, sehingga bekerja sesuai dengan apa yang ia inginkan.
Cara yang tepat untuk hal ini tentu saja cara yang biasa digunakan intelijen. Maka, CIA pun diberi kepercayaan untuk menyusun rencana penggulingan ini, dan CIA melibatkan semua agennya, terutama Pater Beek.
Semula, keterlibatan Beek dalam penggulingan Soekarno hanya dianggap sebagai fiksi belaka, namun setelah Aad van den Heuval, mantan presenter radio dan televise KRO, merilis laporan berjudul ‘Dit was Bradpunt, Goedenavond' (Demikianlah, Fokus Kali Ini, Selamat Malam) pada 2005, publik Eropa sekalipun langsung percaya kalau Beek memang terlibat dalam G-30-S/PKI yang berujung pada penggulingan Soekarno.
Dalam laporan yang didasari hasil penelitian itu, Heuvel dengan yakin memaparkan bahwa penggulingan terhadap Soekarno merupakan hasil kerja sama Beek dengan Soeharto dan dua orang terdekatnya; Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani. Tulisan Heuval ini layak diyakini keakuratannya karena juga didasari hasil wawancara dengan Beek.
Selama kurun waktu antara 1965-1973, Aad van den Heuvel kerap wara-wiri ke Indonesia untuk meliput gejolak politik di Indonesia. Dalam kurun waktu inilah Heuvel bertemu Pater Beek dan mewawancarainya.
Soal pertemuannya dengan Beek, Heuvel memaparkan begini;
“Pada perjalanan saya yang pertama ke Indonesia, saya berkenalan dengan dia (Pater Beek), bersama-sama rekan Ed van Westerloo. Kami melakukan kontak dengan dia melalui seorang misionaris-Pater Wolbertus Daniels, yang telah menyelesaikan masa magangnya di KRO dan akan mendirikan radio di Indonesia. Pater Wolbertus meminta kepada kami untuk langsung bertanya kepada pastur yang mengetahui, bila ingin mengetahui kondisi politik, yang bertempat tinggal di Gunung Sahari, Jakarta. Di sana kami mendengar cerita dalam kejutan yang terus bertambah. Selanjutnya, setiap tahun kami mengunjunginya. Bisa dikatakan dia sudah menjadi informan kami yang terpenting. Pada kenyataannya, dia adalah wakil pihak ketiga”.
Bagi wartawan KRO itu, bertemu Pater Beek bagaikan sebuah berkah karena darinya, dia mendapatkan informasi-informasi maha penting dan eksklusif. Ini diakui sendiri oleh Heuvel dengan pernyataannya sebagai berikut : “Bagi para wartawan KRO, sang pastur (Beek) benar-benar merupakan berkah yang jatuh dari langit. Ia dapat menyingkapkan masalah-masalah tidak hanya sekedarnya saja. Sepanjang pertemuan-pertemuan tersebut, kami menandai bahwa dia adalah otak dari pembalikan itu. Misalnya, apabila kami ingin bicara dengan Opsus-sejenis dinas rahasia- maka dia dapat membuatnya menjadi mungkin”.
Maka, sejak laporan-laporan Heuvel mengudara di Belanda, dan kemudian dituangkan dalm buku, kekejian dan kelicikan Pater Beek dalam tragedi G-30S/PKI, tragedi paling mengenaskan dalam sejarah Indonesia, serta kejadian-kejadian yang mengikutinya, mulai terkuak. Tak ayal, buku Heuvel menjadi pergunjingan di Belanda. Sayang, pemerintah Indonesia hingga kini sama sekali tidak meneliti secara lebih mendalam isi buku itu agar sejarah bangsa ini menjadi terang benderang. Entah, apakah karena setelah era Orde Baru tumbang pada 1998, pemerintah memutuskan untuk tetap menyembunyikan identitas orang itu, atau ada alasan lainnya. Bahkan buku-buku tentang G-30S/PKI yang telah diterbitkanpun semuanya tidak ada yang menyinggung secara detil dan komprehensif soal peranan Beek dalam tragedi yang menewaskan ribuan orang itu, termasuk sejumlah jenderal yang mayatnya dibenamkan dalam sebuah sumur di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Saat diwawancarai Heuvel, Beek mengaku kalau ia sangat prihatin terhadap Komunisme dan Islam di Indonesia yang menurutnya sudah membahayakan. Oleh karena itu, ia berniat “menyelamatkan” minoritas Katolik di Indonesia.
Dari pernyataan ini saja sulit membantah bahwa Beek tidak memiliki peranan apa-apa dalam tragedi G-30S/PKI yang berujung pada penggulingan Soekarno dan naiknya Soeharto menjadi presiden kedua RI. Apalagi karena dalam buku berjudul ‘Tionghoa dalam Pusaran Politik’, Benny G. Setiono antara lain menulis begini;
"Pater Beek, menurut pengakuannya sendiri kepada Oei Tjoe Tat, menjadi otak dan konseptor pendongkelan Presiden Soekarno karena ia sangat membenci Komunisme …”
Tak perlu meragukan kelicikan, kecerdasan dan kehebatan Pater Beek dalam menyusun sebuah strategi. Serpak terjang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang begitu intens untuk menjadikan Indonesia sebagai ‘saudara’ China dan Uni Soviet, membuat semua agen CIA, termasuk Beek, mencari momentum untuk memukul balik partai yang keberadaannya didukung Presiden Soekarno itu. Terlebih karena pada awal 1965, para buruh yang telah direkrut PKI menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat.
Lalu beredar beragam isu yang membuat politik Indonesia makin membara. Yang signifikan adalah isu pembentukan Dewan Jendral, isu tentang ketidakpuasan beberapa petinggi Angkatan Darat terhadap Soekarno, dan berniat untuk menggulingkannya. Soekarno disebut-sebut sempat memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan mengadili para jenderal itu. Namun siapa sangka, isu inilah yang menjadi pemantik peristiwa dahsyat dalam sejarah Indonesia; G-30/S PKI pada 30 September 1965 malam hingga 1 Oktober 1965 dinihari.
D
alam kejadian ini, enam jenderal dibunuh dan mayatnya dicemplungkan ke dalam sumur tua di Lobang Buaya, Jakarta Timur. Dalam buku-buku sejarah yang diterbitkan saat era Orde Baru, disebutkan bahwa PKI lah pelaku utama peristiwa itu dalam rangka mengambil alih kekuasaan. Apalagi karena menjelang kasus itu meledak, semua anggota PKI, termasuk yang di daerah-daerah, telah mengetahui akan adanya kejadian itu.
Namun, jika merujuk pada artikel Jos Hagers yang diterbitkan De Telegraaf, jelas sekali kalau kasus ini bisa jadi akibat ulah Beek. Apalagi karena selain Beek telah memiliki pion di Angkatan Darat, isu Dewan Jenderal juga menyebut-nyebut kesatuan itu.
Soeharto, Ali Murtopo, dan Soedjono Hoemardani, menurut Sembodo, hanyalah pion-pion yang dimainkan Pater Beek untuk menyukseskan misi yang diembannya, karena kebetulan kala itu Soeharto memang berambisi menggantikan Soekarno, sehingga dimana kini Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang diberikan Soekarno kepada Soeharto, juga menjadi misteri.
TNI AD yang kala itu terlibat pun sebenarnya pada posisi yang sama karena pada era 1960-an, TNI AD merupakan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sangat anti-Komunis, namun juga tidak mendukung Islam. Ini terlihat dari kiprah politik pasukan ini yang menumpas gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang dipelopori DII/TII pimpinan Kartosuwiryo dan Kahar Muzakar.
Dan PKI jelas merupakan korban konspirasi antara Freemason, CIA dan Pater Beek demi kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan bangsa Indonesia. Terbukti, setelah Soekarno terguling, Indonesia makin kuat dicengkeram Amerika dan antek-anteknya, sehingga lahan tambang yang begitu berharga di Papua pun dikuasai Amerika melalui PT Freeport, sementara BUMN yang seharusnya dikelola dengan baik demi memakmurkan rakyat, satu demi satu juga jatuh ke tangan pengusaha asing.
Dari berbagai refrensi yang diperoleh, diketahui kalau salah satu tragedi paling berdarah dalam sejarah Tanah Air kita itu merupakan hasil konspirasi antara ambisi segelintir anak negeri yang ingin menjadi penguasa, dengan kepentingan asing yang tergiur oleh kekayaan alam Indonesia yang gemah ripah loh jinawi. Karenanya, tak heran jika tragedi yang menelan korban hingga ratusan ribu jiwa itu dibicarakan dan nama CIA (Central Intelligence Agency) pasti disebut-sebut. Tapi benarkah Amerika Serikat terlibat dalam tragedi yang berbuntut pada tergulingnya Soekarno dari kursi kepresidenan itu?
Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, penulis buku itu, M. Sembodo, secara gamblang menuding kalau tiga nama yang dijadikan judul bukunya itu merupakan pihak-pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya tragedi memilukan tersebut. Bahkan Sembodo menyebut, di antara ketiga nama itu, Pater Beek lah yang berperan besar mencetuskan peristiwa 30 September, sementara Freemason dan CIA bertindak sebagai penyokong dan penyedia dana beserta semua fasilitas yang dibutuhkan.
Dalam buku-buku sejarah Indonesia yang diterbitkan pemerintah Orde Baru, nama Pater Beek maupun Freemason sama sekali tak tercantum, namun dalam buku-buku yang ditulis para penulis lepas dan pemerhati teori konspirasi, nama-nama ini dengan mudah dapat ditemukan karena keduanya memang ada dan sangat mewarnai perjalanan sejarah bangsa ini.
Para Mason ditenggarai mulai masuk Indonesia bersamaan dengan kedatangan VOC ke Indonesia sekitar abad 14. Ini terindikasi dari lambang VOC yang berupa dua huruf "V" yang dipasang sedemikian rupa, sehingga jika ujung-ujung kedua huruf "V" itu ditarik, maka akan membentuk Bintang David, lambang bangsa Yahudi yang juga digunakan para Mason sebagai salah satu simbol organisasi mereka. Hanya saja, karena yang masuk ke Indonesia adalah Para Mason dari Belanda, di Indonesia mereka lebih dikenal dengan nama Vrijmetselarij yang dalam bahasa Inggris berarti Freemasonry.
Dalam buku-buku sejarah yang dicetak Orde Baru, dijelaskan apa itu VOC dan bagaimana kiprahnya di Indonesia. Dan faktanya memang begitu. Selama berada di Nusantara, VOC sukses mengeruk kekayaan Indonesia, yang di antaranya berupa rempah-rempah, dan menjadikan perusahaan itu sebagai salah satu perusahaan tersukses di zamannya. VOC adalah perusahaan yang didirikan oleh 17 pengusaha Yahudi yang bermukim di Amsterdam. Karenanya, tidak heran jika perusahaan itu dapat menjadi kendaraan bagi para Mason untuk tiba di Indonesia.
Pater Beek
Pater Beek lahir pada 12 Maret 1917 dengan nama lengkap Josephus Beek. Ia seorang penganut agama Katolik yang taat dan merupakan anggota Ordo Jesuit, sebuah sekte dalam agama Kristen yang didirikan Ignatius Loyola, Fransiscus Xaverius dan lima rekannya di Kapel Montmatre, Perancis, pada 15 Agustus 1534.
Ia tertarik pada Indonesia setelah mendengar cerita penduduk Amsterdam tentang sebuah negara yang kaya raya dengan mayoritas penduduk beragam Islam, namun sedang dijajah oleh negaranya; Belanda.
Kesempatan datang kala ia berusia 22 tahun tepatnya pada tahun 1939, Beek berkat rekomendasi ordonya dikirim ke Indonesia dengan mengemban dua misi, yakni menyebarkan agama Kristen dan melakukan kajian tentang pola hidup masyarakat di Pulau Jawa. Tujuan misi kedua ini jelas, demi melanggengkan penjajahan yang dilakukan negaranya terhadap Indonesia.
Beek bekerja dengan sangat baik. Ia mencatat apapun yang berhasil diamatinya dari kehidupan masyarakat Pulau Jawa setiap hari, dan yang paling membahayakan eksistensi penjajahan Belanda di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, adalah agama Islam yang mayoritas dipeluk masyarakatnya. Tak heran jika kelompok-kelompok perlawanan masyarakat terhadap Belanda dimotori oleh para pemuka agama Islam, contohnya Pangeran Diponegoro. Ia bahkan menyimpulkan, jika penjajahan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia ingin langgeng, maka Islam harus dilumpuhkan. Dengan cara ini Belanda bahkan mendapat keuntungan lain, yakni penduduk Pulau Jawa dapat diKristenkan dengan lebih mudah. Sekali tepuk, dua nyamuk mati. Sebuah usulan yang cerdik, cerdas dan licik. Sesuai dengan karekternya.
Selesai menjalankan tugas, Beek kembali ke negaranya, dan pada 1948 ditahbiskan menjadi pastur. Pada 1956 atau setahun setelah pemilu pertama dilaksanakan di Indonesia, ia kembali ke Nusantara dengan misi yang jauh lebih besar karena dia tak hanya kembali sebagai seorang misionaris, namun juga seorang anggota Freemasonry dan CIA.
Benarkah Beek Mason dan Anggota CIA?
Pada abad ke-13, Amsterdam hanyalah sebuah kota nelayan. Legenda orang Belanda menyebutkan, kota itu ditemukan oleh dua orang nelayan dari Frisian. Bersama anjing peliharaannya, kedua orang itu mendarat di pesisir Amstel. Karena kawasan di pesisir pantai ini kemudian tumbuh dan berkembang menjadi kota nelayan, maka namanya berubah menjadi Amsterdam yang berarti empang dalam bendungan Amstel.
Seiring berjalannya waktu, Amsterdam tumbuh menjadi kota perdagangan. Pesisir pantainya berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan yang selalu ramai oleh para pedagang yang datang dan pergi. Letaknya yang strategis, membuat kota ini tak lepas dari pengamatan dua negara tetangga Belanda yang sedang berebut tanah jajahan, yakni Spanyol dan Portugis. Spanyol-lah yang akhirnya berhasil menguasai kota ini, dan penduduk Amsterdam memberontak.
Namun, pemberontakan dapat diredam. Spanyol bahkan dapat memperluas tanah jajahannya hingga ke seluruh penjuru Belanda, sehingga pecah perang antara Belanda dengan Spanyol yang dikenal dengan sebutan ‘Perang 80 Tahun’.
Sejak awal pertumbuhannya, Amsterdam sangat terbuka bagi agama Kristen dan Yahudi. Bahkan jika di kota-kota lain di seluruh Eropa orang Yahudi dikucilkan, di Amsterdam justru mendapatkan jaminan keselamatan. Maka tak heran jika di antara seluruh kota di Belanda, hanya Amsterdam-lah yang memiliki penduduk berkebangsaan Yahudi dalam jumlah yang paling banyak.
Abad ke-17 merupakan puncak kejayaan Amsterdam, karena saat itu 17 pengusaha kaya Belanda mendirikan sebuah perusahaan bernama VOC, perusahaan yang kemudian menguras hasil bumi Indonesia, dan membuat Amsterdam semakin makmur. Bahkan akhirnya menjelma menjadi pusat perdagangan di Eropa.
Dari sejarah ini jelas bahwa sebelum kembali lagi ke Indonesia, bisa jadi Beek telah direkrut oleh Freemason karena banyak yang percaya bahwa lambang VOC merupakan kamuflase dari lambang Freemason yang berbentuk bintang David. Apalagi pemilik saham mayoritas di VOC adalah Yahudi yang bermukim di Amsterdam.
Seperti kita ketahui, Freemason berambisi mendirikan negara di Palestina dan menciptakan NWO (Tatanan Dunia Baru) dimana Yahudi sebagai penguasa negara-negara di seluruh dunia. Untuk mewujudkan kedua ambisi ini, Freemason membutuhkan dana yang sangat besar. Meski anggota organisasi persaudaraan rahasia ini merupakan orang-orang kaya yang berkecimpung di berbagai bidang, seperti pengusaha, politikus, ilmuwan, seniman dan sebagainya, namun mereka tetap membutuhkan sumber dana lain untuk mendukung perealisasian ambisi mereka. Maka VOC pun dilayarkan kemana-mana, termasuk ke Indonesia, negara yang kaya akan hasil bumi, terutama rempah-rempah.
Setelah Belanda menjajah Indonesia, VOC tersingkir. Freemason tentu saja tak ingin kehilangan pemasukan dari negara yang kaya ini, maka mereka menempuh beragam cara untuk tetap eksis di Indonesia. Di antaranya dengan mengembangkan organisasinya di Indonesia yang dinamakan Vrijmetselarij. Melalui organisasi ini, Freemason membuat jaringan di segala bidang, terutama di pemerintahan, agar antek-anteknya dapat disusupkan dan pemerintah dapat membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka, terutama dalam bidang investasi. Dengan gerakan bawah tanah seperti inilah Freemason mengeruk kekayaan Indonesia.
Penjajah Belanda tentu saja tahu akan hal ini, namun karena sepak terjang Freemason tidak merugikan, bahkan dalam beberapa hal menguntungkan, Belanda membiarkannya saja. Itu sebabnya selama Belanda menjajah Indonesia, Vrijmetselarij tumbuh dan berkembang dengan baik. Sepak terjang Vrijmetselarij yang mana yang menguntungkan Belanda?
Selama berkiprah di Indonesia, Vrijmetselarij merekrut anak bangsa dari berbagai kalangan, termasuk kalangan bangsawan. Dengan perekrutan seperti ini, tentu saja anak bangsa yang direkrut menjadi ‘sungkan’ terhadap Belanda dan semangat mereka untuk mendepak penjajah itu menjadi kendor. salah satu contoh yaitu Organisasi BO (Boedi Oetomo) yang pendiriannya dimotori Vrijmetselarij .
Jadi, jelas, dalam mengembangkan organisasinya di Indonesia, Freemason menerapkan politik adu domba. Sama dengan politik yang diterapkan Belanda selama menjajah Indonesia.
Dari sini dapat ditemukan benang merah mengapa Freemason merekrut Pater Beek, yakni adanya titik temu antara keinginan Beek kembali ke Indonesia, dengan tujuan Freemason untuk tetap dapat eksis di Bumi Pertiwi.
Jika Beek ingin kembali ke Indonesia karena ingin menghancurkan Islam agar negaranya tetap dapat menjajah, maka Freemason ingin Beek kembali ke Indonesia agar tetap dapat mengeruk kekayaan Indonesia. Tak peduli apapun cara yang dilakukan Beek. Kebetulan, Yahudi membenci Islam, sehingga upaya Beek menghancurkan Islam di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, didukung sepenuhnya.
Freemason mengenal sosok Beek dari para petinggi Ordo Jesuit yang di antaranya bahkan ada yang menjadi anggota organisasi ini. Sejak pria ini direkomendasikan, minatnya telah menarik perhatian para petinggi organisasi itu untuk merekrut dan memanfaatkannya.
Jesuit, CIA dan Freemasonry
Fakta bahwa Beek adalah agen CIA selain diungkap di buku "Pater Beek, Freemason dan CIA" diungkap juga oleh Dr. George J. Aditjondro (penulis yang juga mantan anak buah Beek), dalam artikel berjudul ‘CSIS, Pater Beek SJ, Ali Moertopo, dan LB Moerdani. Dalam artikel ini, George menulis begini;
“Menurut cerita dari sejumlah pastur yang mengenalnya lebih lama, (Pater) Beek adalah pastur radikal anti-Komunis yang bekerja sama dengan seorang pastur dan pengamat China bernama Pater Ladania di Hongkong (sudah meninggal beberapa tahun silam di Hongkong). Pos China watcher (pengamat China) pada umumnya dibiayai CIA. Maka, tidak untuk sulit dimengerti jika Beek mempunyai kontak yang amat bagus dengan CIA. Sebagian pastur mencurigai Beek sebagai agen Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah seorang kardinal yang mengepalai operasi politik Katolik di seluruh dunia”. Fakta yang diungkap George inipun didukung Mujiburrahman dalam desertasi berjudul ‘Feeling Threatened Muslim-Cristian Relations in Indonesia’s New Orde’
Ketakutan Beek dan Freemasonry Terhadap SoekarnoSeperti tercatat dalam buku-buku sejarah yang dicetak di era Orde Baru, hasil Pemilu 1955 menempatkan Masyumi dan Nahdatul Ulama (NU) dalam empat besar partai politik di Indonesia, sehingga negara-negara barat, khususnya Amerika dan Belanda, menjadi cemas karena kepentingan mereka terhadap Indonesia yang kaya akan hasil bumi, sangat besar. Kekhwatiran ini muncul karena seperti tercatat dalam sejarah, umat Islam lah yang lebih banyak berada di garis depan dalam memerangi penjajahan Belanda dan intervensi asing, sehingga jika Islam di Indonesia makin menguat, maka akan makin sulitlah untuk dikuasai. Terlebih karena orientasi politik Presiden Soekarno kala itu memperlihatkan kecenderungan mengarah pada blok Timur yang terdiri dari China dan Uni Soviet yang beraliran Komunis. Kala itu Soekarno bahkan tak hanya membentuk Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), tapi juga tak pernah sungkan menghantam Amerika Serikat dan antek-anteknya setiap kali berpidato di forum-forum lokal maupun internasional.
Bagi Freemason yang berada di belakang Amerika dan Belanda, Soekarno jelas menjadi batu sandungan. Apalagi karena pada 1961, Soekarno melarang keberadaan Vrijmetselarij dan underbow-undebow-nya, sehingga semua kegiatan organisasi ini dan organisasi yang terkait dengannya, seperti Lions Club dan Rotarry Club, tak lagi dapat beraktifitas. Freemason mendukung Amerika karena organisasi inilah yang mendirikan negara super power itu, sehingga jangan heran jika semua presiden negara adidaya itu, seperti George Washington, Ronald Reagen, Bill Clinton, George W Bush dan juga Barack Obama, disebut-sebut sebagai anggota organisasi Yahudi itu, sehingga kepentingan Amerika sesungguhnya kepentingan Freemason juga.
Organisasi ini tak mau pergi dari Indonesia karena memiliki dua agenda besar yang ingin direalisasikan, dimana proses perealisasian agenda-agenda itu juga membutuhkan dana yang sangat tidak sedikit, yakni mendirikan negara Israel yang perealisasiannya pada 1947, dan menciptakan Tatanan Dunia Baru (New World Order) dimana mereka menjadi penguasa tunggalnya, yang hingga kini masih dalam proses.
Bagi Beek, menggulingkan Soekarno bukanlah sesuatu yang layak untuk ditentang, karena meski berorientasi ke Soviet dan China, dan cenderung sekuler, Soekarno seorang muslim yang sangat memperhatikan perkembangan intelektualisme umat Islam. Soekarno bahkan mendirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di beberapa wilayah di Indonesia untuk mencetak intelektual-intelektual Islam yang tak hanya mumpuni dalam hal keagamaan, namun juga berwawasan modern.
Pendirian IAIN ini membahayakan misi Beek, karena jika di Indonesia bermunculan orang Islam-orang Islam yang berpendidikan dan cerdas, maka misinya mengkatolikkan penduduk Pulau Jawa akan mengalami kendala besar. Bahkan eksistensi Katolik di Indonesia bisa saja terancam. Terlebih karena kala itu Soekarno juga sedang berupaya membebaskan Irian Barat yang masih dijajah Belanda, karena selain Pulau Jawa, pulau berbentuk kepala burung itu juga merupakan salah satu pusat pengKatolikkan di Indonesia.
Peran Penting Pater Beek dalam Gerakan 30 September
Dalam menjankan misi-misinya di Indonesia, Pater Beek tidak sendirian. Sedikitnya ada dua pastur yang membantunya, yaitu Pastur Melchers dan Djikstra. Hal ini diungkap peneliti asal Australia Richard Tanter. Dalam salah satu tulisannya yang dikutip Sembodo dalam buku "Pater Beek, Freemason dan CIA", Tanter menyatakan begini;
“(Pater) Beek mengawali proyeknya di tahun 1950-an, bersama dengan sejumlah kecil (anggota Ordo) Jesuit lainnya, termasuk Pastur Melchers dan Djikstra; kesemuanya ini memiliki pengaruh cukup besar dalam percaturan politik di Indonesia. Di mana masing-masing menata jaringan yang serupa dengan ‘kerajaan’ personal, tetapi dalam wilayah yang berbeda dan tetap saling berkoordinasi”.
Tentang adanya Pastur Djikstra di Indonesia, dibenarkan Mujiburrahman dalam desertasinya. Tapi, menurut dia, cara kerja Pater Beek dan Pastur Djikstra berbeda. Meski mengemban misi dan tujuan yang sama. Jika Pater Beek lebih mengedepankan aspek politik, dimana Katolik harus dapat mengontrol Indonesia agar kristenisasi dapat berjalan dengan lancar. Sedang Pastur Djikstra lebih mengedepankan aspek ekonomi, sehingga Katolik dapat menjadi penguasa, sekaligus pengendali jalannya perekonomian negara dan hasil-hasilnya.
Meski dibantu pastur-pastur dari Ordo Jesuit, Beek tetap menggunakan banyak orang untuk membentuk sebuah jaringan yang amat kuat. Jaringan itu adalah orang-orang yang berada di sekitarnya, yang note bene orang Indonesia, dan di antaranya bahkan beragama Islam. Orang-orang ini ia atur dan ia kendalikan sedemikian rupa, sehingga bekerja sesuai dengan apa yang ia inginkan.
Cara yang tepat untuk hal ini tentu saja cara yang biasa digunakan intelijen. Maka, CIA pun diberi kepercayaan untuk menyusun rencana penggulingan ini, dan CIA melibatkan semua agennya, terutama Pater Beek.
Semula, keterlibatan Beek dalam penggulingan Soekarno hanya dianggap sebagai fiksi belaka, namun setelah Aad van den Heuval, mantan presenter radio dan televise KRO, merilis laporan berjudul ‘Dit was Bradpunt, Goedenavond' (Demikianlah, Fokus Kali Ini, Selamat Malam) pada 2005, publik Eropa sekalipun langsung percaya kalau Beek memang terlibat dalam G-30-S/PKI yang berujung pada penggulingan Soekarno.
Dalam laporan yang didasari hasil penelitian itu, Heuvel dengan yakin memaparkan bahwa penggulingan terhadap Soekarno merupakan hasil kerja sama Beek dengan Soeharto dan dua orang terdekatnya; Ali Murtopo dan Soedjono Hoemardani. Tulisan Heuval ini layak diyakini keakuratannya karena juga didasari hasil wawancara dengan Beek.
Selama kurun waktu antara 1965-1973, Aad van den Heuvel kerap wara-wiri ke Indonesia untuk meliput gejolak politik di Indonesia. Dalam kurun waktu inilah Heuvel bertemu Pater Beek dan mewawancarainya.
Soal pertemuannya dengan Beek, Heuvel memaparkan begini;
“Pada perjalanan saya yang pertama ke Indonesia, saya berkenalan dengan dia (Pater Beek), bersama-sama rekan Ed van Westerloo. Kami melakukan kontak dengan dia melalui seorang misionaris-Pater Wolbertus Daniels, yang telah menyelesaikan masa magangnya di KRO dan akan mendirikan radio di Indonesia. Pater Wolbertus meminta kepada kami untuk langsung bertanya kepada pastur yang mengetahui, bila ingin mengetahui kondisi politik, yang bertempat tinggal di Gunung Sahari, Jakarta. Di sana kami mendengar cerita dalam kejutan yang terus bertambah. Selanjutnya, setiap tahun kami mengunjunginya. Bisa dikatakan dia sudah menjadi informan kami yang terpenting. Pada kenyataannya, dia adalah wakil pihak ketiga”.
Bagi wartawan KRO itu, bertemu Pater Beek bagaikan sebuah berkah karena darinya, dia mendapatkan informasi-informasi maha penting dan eksklusif. Ini diakui sendiri oleh Heuvel dengan pernyataannya sebagai berikut : “Bagi para wartawan KRO, sang pastur (Beek) benar-benar merupakan berkah yang jatuh dari langit. Ia dapat menyingkapkan masalah-masalah tidak hanya sekedarnya saja. Sepanjang pertemuan-pertemuan tersebut, kami menandai bahwa dia adalah otak dari pembalikan itu. Misalnya, apabila kami ingin bicara dengan Opsus-sejenis dinas rahasia- maka dia dapat membuatnya menjadi mungkin”.
Maka, sejak laporan-laporan Heuvel mengudara di Belanda, dan kemudian dituangkan dalm buku, kekejian dan kelicikan Pater Beek dalam tragedi G-30S/PKI, tragedi paling mengenaskan dalam sejarah Indonesia, serta kejadian-kejadian yang mengikutinya, mulai terkuak. Tak ayal, buku Heuvel menjadi pergunjingan di Belanda. Sayang, pemerintah Indonesia hingga kini sama sekali tidak meneliti secara lebih mendalam isi buku itu agar sejarah bangsa ini menjadi terang benderang. Entah, apakah karena setelah era Orde Baru tumbang pada 1998, pemerintah memutuskan untuk tetap menyembunyikan identitas orang itu, atau ada alasan lainnya. Bahkan buku-buku tentang G-30S/PKI yang telah diterbitkanpun semuanya tidak ada yang menyinggung secara detil dan komprehensif soal peranan Beek dalam tragedi yang menewaskan ribuan orang itu, termasuk sejumlah jenderal yang mayatnya dibenamkan dalam sebuah sumur di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Saat diwawancarai Heuvel, Beek mengaku kalau ia sangat prihatin terhadap Komunisme dan Islam di Indonesia yang menurutnya sudah membahayakan. Oleh karena itu, ia berniat “menyelamatkan” minoritas Katolik di Indonesia.
Dari pernyataan ini saja sulit membantah bahwa Beek tidak memiliki peranan apa-apa dalam tragedi G-30S/PKI yang berujung pada penggulingan Soekarno dan naiknya Soeharto menjadi presiden kedua RI. Apalagi karena dalam buku berjudul ‘Tionghoa dalam Pusaran Politik’, Benny G. Setiono antara lain menulis begini;
"Pater Beek, menurut pengakuannya sendiri kepada Oei Tjoe Tat, menjadi otak dan konseptor pendongkelan Presiden Soekarno karena ia sangat membenci Komunisme …”
Tak perlu meragukan kelicikan, kecerdasan dan kehebatan Pater Beek dalam menyusun sebuah strategi. Serpak terjang Partai Komunis Indonesia (PKI) yang begitu intens untuk menjadikan Indonesia sebagai ‘saudara’ China dan Uni Soviet, membuat semua agen CIA, termasuk Beek, mencari momentum untuk memukul balik partai yang keberadaannya didukung Presiden Soekarno itu. Terlebih karena pada awal 1965, para buruh yang telah direkrut PKI menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik Amerika Serikat.
Lalu beredar beragam isu yang membuat politik Indonesia makin membara. Yang signifikan adalah isu pembentukan Dewan Jendral, isu tentang ketidakpuasan beberapa petinggi Angkatan Darat terhadap Soekarno, dan berniat untuk menggulingkannya. Soekarno disebut-sebut sempat memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap dan mengadili para jenderal itu. Namun siapa sangka, isu inilah yang menjadi pemantik peristiwa dahsyat dalam sejarah Indonesia; G-30/S PKI pada 30 September 1965 malam hingga 1 Oktober 1965 dinihari.
D
alam kejadian ini, enam jenderal dibunuh dan mayatnya dicemplungkan ke dalam sumur tua di Lobang Buaya, Jakarta Timur. Dalam buku-buku sejarah yang diterbitkan saat era Orde Baru, disebutkan bahwa PKI lah pelaku utama peristiwa itu dalam rangka mengambil alih kekuasaan. Apalagi karena menjelang kasus itu meledak, semua anggota PKI, termasuk yang di daerah-daerah, telah mengetahui akan adanya kejadian itu.
Namun, jika merujuk pada artikel Jos Hagers yang diterbitkan De Telegraaf, jelas sekali kalau kasus ini bisa jadi akibat ulah Beek. Apalagi karena selain Beek telah memiliki pion di Angkatan Darat, isu Dewan Jenderal juga menyebut-nyebut kesatuan itu.
Soeharto, Ali Murtopo, dan Soedjono Hoemardani, menurut Sembodo, hanyalah pion-pion yang dimainkan Pater Beek untuk menyukseskan misi yang diembannya, karena kebetulan kala itu Soeharto memang berambisi menggantikan Soekarno, sehingga dimana kini Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang diberikan Soekarno kepada Soeharto, juga menjadi misteri.
TNI AD yang kala itu terlibat pun sebenarnya pada posisi yang sama karena pada era 1960-an, TNI AD merupakan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang sangat anti-Komunis, namun juga tidak mendukung Islam. Ini terlihat dari kiprah politik pasukan ini yang menumpas gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang dipelopori DII/TII pimpinan Kartosuwiryo dan Kahar Muzakar.
Dan PKI jelas merupakan korban konspirasi antara Freemason, CIA dan Pater Beek demi kepentingan mereka sendiri, bukan kepentingan bangsa Indonesia. Terbukti, setelah Soekarno terguling, Indonesia makin kuat dicengkeram Amerika dan antek-anteknya, sehingga lahan tambang yang begitu berharga di Papua pun dikuasai Amerika melalui PT Freeport, sementara BUMN yang seharusnya dikelola dengan baik demi memakmurkan rakyat, satu demi satu juga jatuh ke tangan pengusaha asing.
Dan internationale
ReplyDeletePastilah di dunia