Friday, February 1, 2013

ARAT SABULUNGAN, KEPERCAYAAN YANG HAMPIR MUSNAH DI MENTAWAI




Dalam keberagaman suku daerah di Indonesia, ada beberapa suku yang sering kita sebut sebagai “suku-suku bangsa yang terasing”. Hal tersebut bisa bermakna kurang positif, primitive, serba ketinggalan dan sebagainya.

Mereka umumnya bermukim didaerah yang susah dijangkau di hutan belantara. Tidak mengenal apa itu modern, tehnologi, dan kemajuan lainnya. Selanjutnya “keterasingan mereka” lebih diakui dalam arti sosial-budaya, yaitu terdapatnya kesenjangan antara taraf sosial-budaya suku-suku bangsa yang bersangkutan dengan keadaan bangsa Indonesia pada umumnya.

Dimasa kini memang paling dirasakan kesenjangan itu, bahkan taraf keadaan suku bangsa tersebut menjadi kendala dalam usaha pembangunan yang kita usahakan sebagai bangsa.
Salah satu dari “suku-suku bangsa yang terasing” yang ada hingga saat ini diantaranya adalah suku Mentawai. Orang Mentawai mendiami empat pulau besar yakni Siberut, Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora yang terletak di bagian paling barat pulau Sumatera. Mereka tinggal di hutan tropik yang lebat yang belum pernah atau sudah sejak lama tidak ditebang manusia. Dari deretan pegunungan yang membujur ditengah-tengah ke empat pulau tadi, mengalirlah puluhan air sungai dengan derasnya. Jika kita tengok dari laut, maka kepulauan Mentawai seolah tak berpenghuni karena hanya pantai kosong dan deret pohon-pohon kelapa.

Kebanyakan dari suku Mentawai tinggal di kampung-kampung. Kampung tersebut terletak di pinggir sungai di pedalaman, Walaupun ada pula yang letaknya di pinggir pantai. Tiap kampung terdiri dari tiga sampai lima wilayah yang disebut perumaan, yang berpusat pada satu rumah adat yang besar atau Uma.

Uma merupakan bangunan yang besar dan megah. Panjang Uma mencapai hingga 25 meter dan lebarnya berkisar 10 meter. Kerangka Uma terbuat dari kayu bakau, lantainya dari batang nibung, dinding rumahnya dari kulit kayu, sedangkan atapnya dari daun sagu. Fungsi dari Uma sendiri adalah sebagai balai pertemuan umum untuk upacara dan pesta adat bagi anggota-angotanya yang semuanya masih terikat hubungan kekerabatan menurut adat.

Masyarakat Mentawai masih amat tertutup sampai sekarang, adat istiadat juga masih menghiasi hidup orang. Pelanggaran adat tidak hanya menyebabkan seseorang akan dikucilkan, tapi juga akan dikenakan sangsi adat atau tulon. Mereka adalah cerminan dari orang-orang yang menjunjung tinggi adat-istiadat dari nenek moyang.

Kepercayaan asli suku Mentawai

Mayoritas orang Mentawai memeluk agama Katolik, dan sebagian beragama Protestan, Islam, atau Bahai. Namun demikian, sebagaian penduduk Mentawai masih tetap memegang teguh religinya yang asli, yaitu Arat Sabulungan. Arat berarti adat, Sa berarti seikat dan bulungan berarti daun.

Disebut Sabulungan karena dalam setiap acara ritualnya selalu menggunakan daun-daun yang dipercaya dapat menghubungkan manusia dengan Sang Maha Kuasa atau disebut sebagai Ulau Manua (Tuhan). Pada dasarnya sabulungan mengajarkan keseimbangan antara alam dan manusia. Kepercayaan itu mengjarkan bahwa manusia harus memperlakukan alam, tumbuh-tumbuhan, air, dan binatang seperti dirinya.

Dalam kepercayaan suku Mentawai tentang daun atau lebih luasnya lagi pohon atau hutan merupakan tempat bersemayam bagi para dewa-dewa yang harus dihormati. Jika tidak, maka malapetakalah yang akan ditemui. Ada tiga dewa yang dihormati dalam ajaran Sabulungan. Pertama Tai Kalelu, yakni dewa hutan dan gunung. Pesta adat sebelum berburu selalu dipersembahkan kepada dewa ini. Kedua adalah Tai Leubagat, yang merupakan dewa laut. Ketiga yaitu Tai Kamanua, yang merupakan dewa langit sang pemberi hujan dan kehidupan.

Dahulu Arat Sabulungan dijadikan sebagai norma dalam penentuan segala hubungan manusia dengan alam dan dalam hubungan batin khusus dengan Tuhannya. Alam sangat dihormati oleh suku Mentawai begitu juga dengan hewan karena mereka percaya bahwa semua itu ada pemiliknya yang mempunyai kekuatan yang sangat besar yang jika diganggu akan mendatangkan bencana. 

Rasa persaudaraan ketika masyarakat Mentawai masih menganut Arat tersebut sangatlah dekat. Bagi siapa saja yang melanggar Arat akan dijatuhi hukuman yang ditentukan dalam  musyawarah Uma. Mereka berkeyakinan bahwa jika ada salah satu yang melanggar maka semua akan terkena dampaknya.

Hampir musnah

Seiring pengaruh yang masuk dari luar, baik di masa penjajahan atau setelah kemerdekaan Indonesia, Arat Sabulungan tidak bisa dilakukan lagi dalam bentuk formal. Arat Sabulungan dianggap sebagai kepercayaan yang sesat, bahkan segala atribut mereka dibakar dan dimusnahkan. Padahal yang mereka sembah adalah pengusa langit dan bumi yang tidak kelihatan, yang sejumlah agama disebut Tuhan. Saat pemerintah hanya menetapkan lima agama yang boleh dianut oleh masyarakat, akhirnya perlahan-lahan kepercayaan ini hilang.

Pada tahun 1950-an kehancuran Arat Sabulungan semakin menjadi karena gencarnya masuknya agama ke Mentawai. Pada mulanya masyarakat Mentawai menolak dengan keras bahkan melakukan perlawanan fisik dengan kedatangan agama tersebut karena mereka beranggapan bahwa mereka sudah mempunyai agama yang dijadikan pegangan hidup. Beberapa penduduk ditangkap dan dipenjarakan untuk memaksa agar orang Mentawai meninggalkan Arat Sabulungan dan menganut agama impor tersebut. Betapa suramnya masa itu, masyarakat ketakutan dalam menjalankan ritualnya karena tak ada belas kasihan bagi mereka yang menjalankan kepercayaannya.

Pemaksaan itulah yang menghancurkan kepercayaan suku Mentawai, baik dari simbol maupun dari nilai luhur yang ada padanya. Peradaban Mentawai dihancur leburkan oleh kepercayaan asing tersebut. Namun dalam perkembangan setelah agama tadi masuk, agama tersebut tidak banyak memberikan ketentraman dalam jiwa mereka. Agama telah menghancurkan budaya dan kearifan lokal tersebut, dan yang lebih mengerikan lagi adalah generasi muda Mentawai yang kehilangan identitas akan keaslian suku mereka. Para misionaris dan pemerintah Indonesia telah menghancurkan peradaban Mentawai, menjadikan suku Mentawai asing di tanahnya sendiri dikarenakan budaya mereka yang punah.

Beruntung Mentawai bagian Siberut masih gigih mempertahankan kepercayaan dan nilai itu. Mereka setengah mati mempertahankan Arat Sabulungan yang diyakininya. Namun, di Mentawai bagian selatan seperti pulau Pagai Utara, Pagai Selatan, dan Sipora nilai luhur tradisi Arat Sabulungan telah menipis.

Pemaksaan dalam keyakinan yang dianut bagaimanapun caranya merupakan hal yang tidak bisa dibenarkan. Pemerintah seharusnya menjamin dan melindungi kepercayaan tiap-tiap warga negara di republik ini. Demikian pula keselarasan hidup orang Mentawai, akan terasa lebih tentram jika tanpa pemaksaan terhadap keyakinan yang mereka anut. Semoga tidak ada lagi kisah pemaksaan yang merenggut kebebasan keyakinan di negeri kita yang tercinta ini.




0 komentar:

Post a Comment