Friday, June 21, 2013

Makalah Ilmu Alamiah Dasar: KELAHIRAN PENGETAHUAN ALAMIAH MODERN

MAKALAH ILMU ALAMIAH DASAR “MANUSIA SEBAGAI PUSAT KOSMOS”

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Ilmu alamia (I. A) sering disebut ilmu pengetahuan Alam (IPA) dan akhir-akhir ini ada juga yang menyebut ilmu kealaman yang dalam bahasa inggris disebut Natural Science atau disingkat sclences dan dalam bahasaindonesia sudah lazim digunakan istilah Sains.

I.                           A merupakan ilmu pengetahuan yang dikaji gejala-gejala alam semesta, termasuk bumi ini, sehingga terbentuk konsep dan perinsip. Ilmu Alamia Dasar (IAD) yang disebut juga dengan (Basic Natural Science) hanya mengkaji konsep-konsep dan prinsip-prinsip dasar yang esensial saja.

2.      Tujuan
Diharapkan kepada mahasiswa/mahasiswi dengan adanya makala ini dapat memudahkan dan memahami konsep perkembangan penalaran manusia terhadap gejala-gejala alam sampai terwujudnya metode ilmia yang merupakan ciri khusus IPA





BAB II
RUMUSAN MASALAH

Makalah ini mengatakan bahwa manusia sebagai mahluk yang unik dapat menegembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang besar sekali manfaatnya. Dalam kehidupan ini, semua mahluk hidup pasti menggunakan materi dan energi , maka hal itu patut di bicarakan dan lebih jauh lagi, bagaimana mahluk itu berkembang dan berevolusi. Manusia sebagai mahluk hidup yang unik, apakah semula sudah cerdas dan berilmu serta berteknologi, bumi sebagai tempat tinggal manusia memiliki keterbatasan daya dukung. Agar bumi tetap memiliki daya dukung yang tinggi dan stabil, perlu di jaga keseimbangan. penjagaan keseimbangan memerlukan pemahaman lingkungan manusia dan dampak kemajuan teknologi.dalam kemajuan teknologi dan tuntunan manusia yang berkembang, lahirlah alat-alat yang lebih mudah atau menyenangakan manusia, misalnya alat elektronika, alat transportasi yang cepat dan lain-lain.

Makalah ini akan membahas tentang apa yang dikatakan dengan perkembangan pikiran manusia, mitos, metode ilmia, dan IPA perkembangan gaya abstrak. Adapun semuanya itu akan dibahas dan diuraikan pada materi pembahasan selanjutnya.







BAB III
PEMBAHASAN

1.      PERKEMBANAGAN PIKIRAN MANUSIA
a.      Sifat Unik Manusia

Dibanding dengan mahluk lain, jasmani manusia adalah lemah, sedangkan rohaninya atau akal budi dan kemauannya sangant kuat. Maka untuk membelah diri terhadap serangan dari mahluk lain dan untuk melindungi diri terhadap pengaruh lingkungan yang merugikan manusia harus memanfaatkan akal budinya dengan cemerlang. Kemauannya yang keras menyebabkan manusia dapat mengendalikan jasmaninya. Hal ini  dapt menimbulkan efek yang negatif, misalnya manusia dapat mogok makan, dapat minum-minuman keras sampai mabuk, dan bahkan dapat bunuh diri dari lingkungan yang merugikan itu. Hal semacam ini jarang kita jumpai pada hewan. Jadi sifat unik  manusia itu ialah akal budi dan kemauannya menaklukkan jasmaninya.

b.      Rasa Ingin Tahu

Dengan pertolongan akal budinya manusia menemukan berbagai cara untuk melindungi diri terhadap pengaruh lingkungan yang merugikan. Tetapi adanya akal budu itu juga menimbulkan rasa ingin tahu yang selalu berkembang. Rasa ingin tahu itu tidak pernah dapat ingin dipuaskan. Kalau salah satu soal dapat dipecahkan, maka timbul soal lain yang menunggu penyelesaian. Manusia tidak pernah puas dengan pengetahuan yang telah dimilikinya. Selalu timbul keingin untuk menambah pengetahuan itu. Rasa ingin tahu mendorong manusia untuk melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk mencari jawaban atas berbagai persoalan yang muncul dalam pikirannya. Tetapi kegagalan biasanya tidak menimbulkan rasa putus asa, bahkan seringkali justru membangkitkan semangat yang lebih menyala-nyala untuk memecahkan persoalan. Kegiatan untuk mencari pemecahan dapat berupa :

a)      Penyelidikan langsung.
b)      Penggalian hasil-hasil penyelidikan yang sudah pernah diperoleh orang lain, ataupun
c)      Kerjasama dengan penyelidik-penyelidik lain yang juga sedang memcahkan soal yang sama atau yang sejenis.

Sebenarnya setiap orang mempunyai rasa ingin tahu, meskipun kekuatan atau intensitasnya tidak sama, sedangkan bidang minatnyapun berbeda-beda pula.

Jadi rasa ingin tahu tiap manusia pada tiap saat belum tentu sama kuat, demikian pula pada klompok fenomena yang menimbulkan rasa ingin tahu biasanya berbeda-beda dan dapat berubah-ubah menurut keadaan[1][1].

Rasa ingin tahu yang terus berkembang dan seolah-olah tanpa batas untuk menimbulkan perbendaharaan pengetahuan pada manusia. Dengan selalu berlansungnya perkembangan pengetahuan itu lebih nyata bahwa manusia berbeda dari pada hewan. Manusia merupakan mahluk hidup yang berakal serta mempunyai derajat yang tinggi bilah dibandingkan degan hewan atau mahluk lainnnya[2][2].

c.       Rasa ingin tahu menyebabkan alam pikiran manusia berkembang

Ada dua macam pekembangan akan kita tinjau yaitu:
1)      Perkembangan alam pikiran manusia sejak zaman purab hingga dewasa ini.
2)      Perkembangan alam pikiran manusia sejak lahirkan sampai akhir hayatnya.

Pada zaman puraba manusia sudah menghadapi berbagai teka teki, terbit dan terbenamnya matahari, perubahan bentuk bulan, pertumbuhan dan pembikan mahluk hidup, adanya angin, petir, hujan dan pelangi. Terdorong oleh rasa ingin tahu yang sangat kuat, manusia purba mulai menyelidiki apa penyebabnya terjadinya fenomena-fenomana itu dan apa akibatnya. Penyelidikan ini menghasilkan  jawaban atas banyak persoalan, tetapi kemudian timbul persoalan-persoalan baru. Dengan demikian alam pikiran manusia mulai berkembang. Perkembangan itu berlangsung terus sampai sekarang dan akan berlanjut di masa mendatang. Meskipun semua orang memiliki rasa ingin tahu, tidak semua orang dan mampu mengadakan penyelidikan sendiri. Banyak yang sudah merasa puas dengan memilih jalan pintas yaitu bertanya kepada orang lain yang telah mengadakan penyelidikan atau bertanya.

Alam pikiran seorang bayi yang baru lahir mengalami perkembangan yang hampir serupa. Ketika anak kecil mengamati lingkungan, muncul bermacam-macam pertanyaan itu, anak kecil mengadakan penyelidikan sendiri atau bertanya kepada ibu, ayah, kakak atau orang lain yang mengasuhnya. Dengan demikian alam pikiran anak berkembang dengan pesat . rasa ingin tahu anak akan melemah, apabila orang-orang disekelilingnya terlalu sibuk, terlalu malas atau terlalu bodoh untuk memuaskan rasa ingin tahu anak itu. Dengan dwmikian alam pikiran anak itu akan terhambat.

Perkembangan alam dapat juga disebabkan oleh rangangan dari luar, tanpa dorongan dari dalam yang berupa rasa ingin tahu. Misalnya: orang yang tinggal dekat hutan menyaksikan kebakaran hutan,  orang yang sebenarnya tidak berminat dipaksah untuk mendengarkan ceramah. Sebab eksteren semacam itu memang dapat menimbulkan perkemangan alam pikiran manusia, tapi hasil itu biasanya tidak mndalam dan tidak tahan lama[3][3].

2.      MITOS, PENALARAN DAN PENGETAHUAN PANGKAL KELAHIRAN IPA

a.       Mitos

Menurut A. Comte bahwa dalam sejarah perkembangan manusia ada tiga tahap, yaitu:
1.      Tahap teologi atau tahap metafisika
2.      Tahap filsafat
3.      Tahap positif atau tahap ilmu.

Dalam tahap teologi atau tahap metafisika, manusia menyusun mitos atau dongeng mengenal realita atau kenyataan, yaitu pengetahuan yang tidak obyektif, melainkan subyektif. Mitos ini diciptakan untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia. Dalam alam pikiran mitos, rasio atau penalaran belum terbentuk, yang berkerja hanya daya khayal, intuisi, atau imajinasi.

Menurut C. A. Van Peursen, mitos adal suatu ceriteria yang memberikan pedoman atau arah tertentu kepada sekelompok orang. Lewat mitos, manusia dapat turut serta mengambil bagian dalam kejadian-kejadian alam sekitarnya, dapat menanggapi daya kekuatan alam. Contoh

a)      Gunung api meletus hebat, menimbulkan gempa bumi, mengeluarkan gempa bumi, mengeluarkan lahar panas dan awan panas, sehingga menimbulkan banyak koban manusia, juga merusak daerah temat tinggal dan daerah persawahan penduduk. Manusia pada tahap teologi (menurut A. Comte) atau pada tahap mitos (C. A van peursen) belum dapat melihat realita ini dengan inderanya, manusia belum dapat mengetahui dan menangkap peristiwa dalam (obyek) dengan alam pikiranya, maka manusia beranggabpan bahwa yang dianggap sakti sedang murka.

b)      Gempa bumi diduga terjadi kerana Atlas (reksasa yang memikul bumi pada bahunya) memindahkan bumi dari bahu yang satu ke bahu yang lain.


c)      Gerhana bulan disangka terjadi karena bulan dimakan raksasa, menurut mitosnya raksa itu takut pada bunyi-bunyian, maka pada waktu gerhana bulan, manusia memukul benda apa saja yang dapat menimbulkan bunyi, supaya raksasa itu takut, dan memuntahkan kembali bulan purnama.

d)     Bunyi guntur dikira ditimbulkan oleh roda kereta yang dikendari dewa melintas langit.

Dalam menghadapi pristiwa yang menakjubkan seperti terjadinya gerhana, halilintar, topan, banjir, gempa, gunung meletus, manusia prmitif selalu menghubungkannya dengan kekuasaan atau perbuatan dewa, hantu, setan atau mahluk ghaib lainnya. Dahulu mitos sangat berpengaruh, bahkan saat inipun kepercayaan mitos masih belum sepenuhnya hilang. Mencari jawab atas masalah seperti itu, dengan menghubungkanya dengan mahluk-mahluk ghaib, disebut berpikir secara irasional. Tentu saja pengetahuan yang diperoleh secara irasional belum dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya. Manusia terhadap mitos menanggapi realita dengan mengadakan selamatan, tari-tarian, aatau lagu-lagu tersebut terkandung dengan cerita tentang riwayat para dewa yang sedang mengatur peristiwa-peristiwa alam. Demikianlah manusia pada tahap mitos/teologi menjawab keingintahuannya dengan menciptakan dongeng-dongeng atau mitos, karena alam pikirannya masih terbatas pada imajinasi atau intuisi[4][4].



b.      Penalaran deduktif (Rasionalisme).

Dengan bertambah majunya alam pikiran manusia dan makin berkembangnya cara-cara penyelidikan, manusia dapat menjawab. Menurut A. Comte, dalam perkembangan manusia, sesudah tahap mitos, manusia berkembang dalam tahap filsafat. Pada tahap filsafat, rasio sudah terbentuk, tetapi belum ditemukan metode berfikir secara objektif. Perkembangan alam pikir manusia merupakan proses, maka manusia tidak puas dengan pemikiran ini, sehingga berkembang kedalam tahap positif atau tahap ilmu. Dalam tahap positif atau tahap ilmu ini, rasio sudah dioperasikan secara obyektif. Manusia menghadapi obyek dengan rasio.

C. A. Van Peursen dalam bukunya mengatakan bahwa didalam mitos manusia terikat, manusia menerima keadaan sebagai takdir yang harus diterima. Lama kelamaan manusia tidak mau terikat, maka manusia berusaha mencari penyelesaian dengan rasio, dalam pemikiran ini. Dalam menghadapi peristiwa-peristiwa alam, misalnya gunung api meletus yang menimbulkan banyak korban dan kerusakan, manusia tidak lagi mengadakan selamatan dengan tari-tarian dan nyanyian, tetapi akan mengamati peristiwa itu, mempelajari mengapa gunung api tidak meletus, kemudian berusaha mencari penyelesaian dengan tindakan-tindakan yang sesuai dengan hasil pengamatannya[5][5].

Berkat pengamatan yang sitematis dan kritis, serta makin bertambahnya pengalaman yang diperoleh, lambat laun manusia berusaha mencari jawab secara rasional dengan meninggalkan cara yang irisional. Pemecahan secara rasional berarti mengandalkan rasio dalam usaha memperoleh pengetahuan yang benar. Kaum rasionalis mengembangkan paham yang disebut rasionalisme. Dalam menyusun pengetahuan, kaum rasionalis menggunakan penalaran deduktif. Penalaran deduktif adalah cara berfikir yang bertolak dari pernyataan yang bersifat umum untuk menarik kesimpulan yang bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif ini menggunakan pola berpikir yang disebut silogisme. Silogisme itu terdiri atas dua buah pertanyaan dan sebuah kesimpulan. Kedua pernyataan itu disebut premis mayor dan premis minor.
Dengan demikian jelas bahwa penalaran deduktif ini pertama-tama harus mulai dengan pernyataan yang sudah pasti kebenarannya. Penalaran deduktif  dapat diperoleh bermacam-macam pengetahuan mengenai sesuatu, obyek tertentu tanpa ada kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak. Disamping itu juga terdapat kesulitan untuk menerapkan konsep rasional kepada kehidupan praktis[6][6].
  
c.       Penalaran Indukatif ( Empirisme)

Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan penalaran deduktif ternyata mempunyai kelemahan, maka muncullah pandangan lain yang berdasarkan pengalaman kongkret. Mereka yang mengembangkan pengetahuan berdasarkan pengalamanan kongkret disebut penganut empirisme. Paham empirisme menganggap bahwa pengetahuan yang benar ialah pengetahuan yang diperoleh langsung dari pengalaman kongkret. Menurut paham empirisme ini, gejala alam itu bersifat kongkret dan dapat ditangkap dengan panca indera manusia.

Penalaran haruslah dimulai dari yang sederhana menuju ke yang lebih kompleks. Didalam penalaran itu, fakta yang didasarkan atas pengamatan tidak boleh dicampur adukan dengan adukan atau pendapat orang yang melakukan penalaran. Mengemukakan sering kali juga berfaedah, tetapi haruslah ada garis pemisah yang tegas antara dugaan dan fakta. Yang terutama kita perhatikan di sini ialah gejala alam. Ada gejala alam yang dapat ditirukan oleh manusia, ada juga yang tidak dapat. Penyelidikan gejala alam yang dapat diturunkan didalam laboratorium (kadang-kadang ukuran kecil) biasanya lebih cepat membawa hasil dibandingkan gejala yang tidak dapat diulangi didalam laboratorium.

Dari pengamatan secara sistematis dan kritis atas gejala-gejala alam akan diperoleh pengetahuan tentang gejala itu. Penganut emperisme menyusun pengetahuan dengan menggunakan penalaran indukatif. Penalaran indukatif ialah cara berfikir dengan menarik kesimpulan umum dari pengamatan atas gejala-gejala yang bersifat khusus. Contoh lagi : kucing sedang bernafas, kambing bernafas, sapi, kuda dan harimau juga bernafas. Dapat disimpulkan bahwa semua hewan dapat bernafas.

Dengan penalaran indukatif ini makin lama dapat disusun pernyataan yang lebih umum lagi dan bersifat fundamental. Dengan cara ini dapat diperoleh prinsip-prinsip yang bersifat umum sehingga memudahkan dalam memahami gejala yang beraneka ragam. Namun demikian ternyata bahwa pengetahuan yang dikumpulkan berdasarkan penalaran induktif ini masih belum dapat diandalkan kebenarannya. Misalnya dari hasil pengamatan terhadap anak-anak yang berprestasi tinggi dibeberapa sekolah menunjukkan bahwa semuanya berhidung mancung[7][7].   

d.      Pendekatan Ilmiah, kelahiran IPA
Agar supaya himpunan pengetahuan itu dapat disebut ilmu pengetahuan, harus digunakan perpaduan antara rasionalisme dan empirisme, yang dikenal sebagai metode keilmuan atau pendekatan ilmiah.  Pengetahuan yang disusun dengan cara pendekatan ilmiah atau menggunakan metode keilmuan, diperoleh melalui kegiatan penelitian ilmiah. Penelitian ilmiah ini dilaksanakan secara sistematik dan terkontrol berdasarkan atas data-data empiris. Kesimpulan dari penelitian ini dapat menghasilkan suatu teori. Metode keilmuan itu bersifat obyektif, bebas dari keyakinan, perasaan dan prasangka pribadi serta bersifat terbuka. Artinya dapat diuji ulang oleh siapa pun.

Dengan demikian kesimpulan yang diperoleh lebih dapat diandalkan dan hasilnya lebih mendekati kebenaran. Jadi suatu himpunan pengetahuan dapat digolongkan sebagai ilmu pengetahuan bilamana cara memperolehnya menggunakan metode keilmuan, yaitu gabungan antara rasionalisme dan empirisme.

3.      METODE ILMIAH SEBAGAI CIRI IPA
a.      Metode Ilmiah
Berfikir secara rasional dan berfikir secara empiris membentuk dua kutub yang saling bertentangan. Kedua belah pihak, masing- masing mempunyai kelebihan dan kekurangannya. Gabungan antara dua pendekatan rasional dan pendekatan empiris dinamakan metode ilmiah. Rasionalisme memberi kerangka pemikiran yang konoheren dan logis, sedang empirisme dalam memastikan kebenarannya memberikan kerangka pengujiannya.dengan demikian maka pengetahuan yang dihasilkan ialah pengetahuan yang konsiten dan sistematis serta dapat diandalkan, karena telah diuji secara empiris.

Metode ilmiah merupakan cara dalam memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Dapat juga dikatakan bahwa metode ilmiah merupakan gabungan antara rasionalisme dan empirisme. Cara-cara berfikir rasional dan empiris tersebut tercermin dalam langkah-langkah yang terdapat dalam proses kegiatan ilmiah tersebut. Kerangka dasar prosedurnya dapat diuraikan atas langkah-langkah berikutnya:

1.      Penemuan atau penentuan masalah
Dalam kehidupan sehari-hari kita menghadapi berbagai masalah. Dengan adanya masalah ini maka otak kita mulai berfikir. Masalah tersebut harus dirumuskan sedemikian rupa hingga memungkinkan untuk dianalisis secara logis dan kemudian mudah untuk dipecahkan.
2.      Perumusan kerangka masalah
Langkah ini merupakan usaha untuk mendeskripsikan permasalahannya secara lebih jelas. Unsur-unsur yang membentuk kerangka ini dapat diturunkan secara empiris. Jadi dalam langkah perumusan kerangka permasalahan ini, kita sudah mulai berfikir secara empiris dan secara rasional. 
3.      Pengajuan Hipotesis
Hipotesis adalah kerangka pemikiran sementara yang menjelaskan hubungan antara unsur-unsur yang membentuk suatu kerangka permasalahan. Kerangka  pemikiran sementara diajukan tersebut disusun secara deduktif  berdasarkan premis-premis atau pengetahuan yang telah diketahui kebenarannya.
4.      Deduksi Hipotesis
Kadang-kadang, dalam menjembatani permasalahan secara rasional dengan pembuktian secara empiris membutuhkan langkah perantara.


5.      Pengujian Hipotesis
Langkah ini merupakan usaha untuk mengumpulkan fakta-fakta yang relevan dengan deduksi hipotesis. Jika fakta-fakta tersebut sesuai dengan konsekuensi hipotesis, berarti bahwa hipotesis yang diajukan terbukti/benar, karena didukung oleh fakta-fakta yang nyata. Jadi kriteria untuk menetukan apakah suatu hipotesis itu benar atau tidak ialah kenyataan empiris, apakah hipotesis tersebut didukung oleh fakta atau tidak. Langkah-langkah dalam kegiatan ilmiah tersebut diatas tersusun dalam urutan yang teratur, langkah yang satu merupakan persiapan bagi langkah berikutnya.
6.      Keterbatasan dan keunggulan metode ilmiah
Keterbatasan :
Data berasal dari pengamatan yang dilakukan oleh panca indera. Kita mengetahui bahwa panca indera mempunyai keterbatasan untuk menangkap sesutu fakta.
Keterbatasan lain dari metode ilmiah adalah tidak dapat menjangkau untuk membuat kesimpulan yang bersangkutan dengan baik dan buruk atau sistem nilai, tentang seni dan keindahan, dan juga tidak dapat menjangkau untuk menguji adanya Tuhan.
Keunggulan :
Ilmu atau Ilmu pengetahuan (termasuk IPA) mempunyai ciri khas yaitu obyektif, metodik, sistematik dan berlaku umum. Dengan sikap tersebut maka orang berkecimpung atau selalu berhubungan dengan ilmu pengetahuan akan terbimbing sedemikian hingga padanya terkembangkan suatu sikap yang disebut ilmiah. Yang dimaksud dengan sikap ilmiah tersenut adalah sikap:
a)      Mencintai yang kebenaran obyektif, dan bersikap adil.
b)      Menyadari bahwa kebenaran ilmu tidak absolut.
c)      Tidak percaya pada takhayul, astrologi maupun untung-untungan.
d)     Ingin tahu lebih banyak.
e)      Tidak berpikir secara perasangka.
f)       Tidak percaya begitu saja pada suatu kesimpulan tanpa adanya bukti-bukti yang nyata.
g)      Optimis, teliti dan berani menyatakan kesimpulan yang menurut keyakinan yang ilmiahnya adalah benar[8][8].

b.      Pengertian IPA
IPA merupakan ilmu yang sistematis dan dirumuskan, yangberhubungan dengan gejalah-gejalah kebendaan dan didasarkan terutama atas pengamatan dan induksi (H.W. Fowler et-al, 1951). Sedangkan Nokes didalam bukunya “Science in Education” menyatakan bahwa IPA adalah pengetahuan teoritis yang diperoleh dengan metoda khusu.
Kedu perdata diatas sebenarnya tidak bebeda, memang benar bahwa IPA merupakan suatu ilmu teoritis, tetapi teori tersebut didasarkan pengamatan, percobaan-percobaan terhadap gejalah-gejalah alam.
Jadi dapatlah disetujui bahwa IPA adalah suatu pengetahuan teoritis yang diperoleh/disusun dengan cara yang khas/khusu, yaitu melakukan observasi eksperimentasi, penyimpul, penyusun teori, eksperimentasi, observasi dan dimikian seterusnya kait-mengkait antara cara yang satu dan yang lain. Cara untuk memperoleh ilmu secara demikian ini terkenal dengan nama metode ilmiah. Metode ilmiah pada dasarnya merupakan cara yang logis untuk memecahkan suatu masalah tertentu.
Pemecahan masalah itu dilakukan tahap demi tahap demi tahap dengan urut langka-langka yang logis, dikumpulkannya fakta-fakta yang berkaitan masalah tersebut, mengujinya berulang-ulang melalui eksperimen-eksperimen, barulah diambil kesimpulan berdasarkan hasil-hasil eksperimen tersebut yang diyakini kebenarannya.
Pendekatan induktif ialah mengambil suatu kesimpulan umum berdasarkan dari sekumpulan pengetahuan, sedangkan yang bersifat deduktif ialah berdasarkan hal-hal yang sudah dianggap benar diambil suatu kesimpulan dengan menggunakan hal-hal yang sudah dianggap benar[9][9]
c.       Relativitas IPA
Fakta sebenarnya mendiskripsikan/memberikan fenomena-fenomena (gejalah). Namaun kadang-kadang fonomena yang sama dapat diberikan dengan cara-cara yang berbeda, tergantung dari sudut pandangan siperumus fakta itu. Sebagai contoh fenomena terbit dari terbenamnya matahari dapat diberikan.
1.      Matahari terbit dari terbenam matahari disebelah timur, lalu tenggelam disebelah barat.
2.      Bumi berputar kearah timur, maka matahari seolah-olah bergerak kebarat. 
Relativitas ini timbul terutama apabila sipengamat sedikit banyak terlibat dalam fenomena itu atau kalau sipengamat hanya dapat mengamati sebagian saja dari fenomena itu. Contoh lain : Pengamat yang berada didalam kereta atau bis yang sedang berjalan (cepat) akan melihat tiang-tiang listrik ataupun pohon-pohon seolah-olah bergerak kearah yang berlawanan[10][10].  
d.      IPA Bersifat Dinamis
IPA berawal dari pengamatan dan pencatat baik terhadap gejalah-gejalah alam pada umumnya maupun dalam percobaan-percobaan yang dilakukan dalam laboratorium. Dari hasil pengamatan atau observasi ini manusia berusaha untuk merumuskan konsef-konsef, perinsif, hukum dan teori.
Dari teori yang telah ada dibuka kemungkinan untuk melakukan eksperimen yang baru. Kemudian dari data yang baru yang diperoleh mungkin masih mendukung berlakunya teori yang lama, tetapi juga ada kemungkinan tidak lagi cocok sehingga perlu disusun teori yang baru.
Demikianlha proses IPA berlangsung terus sehingga selalu terdapat mekanisme kontrol, besifat terbuka untuk selalu diuji kembali dan bersifat komulatif. Jadi proses IPA yang dinamis ini karena menggunakan metode keilmuan, dimana pran teori dan eksperimen saling komplemeter dan saling memperkuat. Sebagai contoh : dengan menggunakan teori optik memungkinkan dibuatnya alat-alat optik yang presisi yang tinggi dan kemampuan yang lebih besar. Selanjutnya dengan alat-alat yang berkemampuan besar ini memungkinkan diperbaharuinya teori yang telah ada.       
4.      IPA dan Perkembangan Daya Abstraksi Manusia
a.      Peranan Matematika dan Daya Abstraksi Manusia
Pada zaman dahulu kala sebenarnya manusia dengan tidak sadar telah menggunakan Matematika. Berarti bahwa Matematika tersebut telah dikenal orang sejak zaman dahulu. Tentu saja Matematika yang mereka gunakan adalah Matematika Klasik atau Matematika yang sangat sederhana. Misalnya saja mereka telah menggunaka jari-jari tangannya bahkan sampai menggunaka jari-jari kakinya untuk alat hitung-menghitung.
Sesuai dengan perkembangan otak manusia, maka didunia ini lahirlah masalah-masalah baru khusunya yang berhubungan dengan masalah kehidupan mereka, misalnya masalah ekonomi, masalah kependudukan, petani, keteknikan, transportasi, komunikasi, cuaca, pendidikan dan bahkan sampai pada ilmu pengetahuan yang semuanya itu membutuhkan adanya penghitungan-penghitungan secar sitematis guna menyelesaikan persoalan-persoalan dengan mudah, cepat dan efisien[11][11].
Adapun peranan Matematika bagi IPA adalah :
Karena kompleksnya masalah-masalah yang dihadapi dan juga perkembangan ilmu pengetahuan, maka pada waktunya yang silam matematika klasik kurang mampu untuk memecahkan secara tuntas, sistematis, dan efisien. Misalnya kalu zaman dahulu orang menghitung hanya dengan jari-jari tangan yang hanya mampu untuk menghitung masalah-masalah yang sederhana, tetapi sekarang cara demikian sudah banyak ditinggalkan orang, karena dengan cara tersebut memang kurang praktis untuk disunakan. Sehingga bangkitlah dunia ilmu pengetahuan khusunya Matematika dengan memberikan simbol pada unsur-unsur matematika seperti simbol bilangan yang dinyatakan dengan angka-angka yaitu :
Bilangan satu simbolkan dengan angka 1
Bilangan dua simbolkan dengan angka 2
Bilangan tiga simbolkan dengan angka 3
Dan seterusnya
Sehingga kalu orang hendak menjumlahkan bilangan-bilangan :
Satu ditambah dua sambah dengan tig
Lima ditambah tiga sama dengan delapan
Maka orang akan lebih suka memakan simbol :
1 + 2 = 3
5 + 3 = 8
Dalam bahasa Matematika wakil-wakil semacam itu disebut dengan perubahan atau variabel yang biasa disimbolkan dengan huruf-huruf  : x, y, z ………….. sehingga kalau orang mengtakan bahwa :
2x + 4x = 6x
Dengan x wakil dari pensil maka maksud dari kalimat itu adalah :
2 Pensil + 4 Pensil = 6 Pensil
b.      Peranan Matematika Terhadap IPA
Menurut dengan sejarah, kemampuan manusia menulis sama tuanya dengan kemapuan manusia untuk dapat berhitung, yaitu kurang lebih 10.000 tahun sebelum Masehi. Tulisan itu pada hakikatnya simbol dari apa yang ia tulis.
Berhitung, pada awal mulanya berbentuk korespondensi persatuan dari objek yang dihitung. Misalnya seorang ingin menghitung beberapa jumlah ternaknya, maka ternak itu dimasukkan kedalam kandang satu persatu. Taip ekor diwakili satu batu kecil, maka jumlah ternaknya adalah jumlah batu kecil itu. Dengan sekantung batu-batu itu ia dapat mengontrol apakah ada ternak yang belum kembali atau hilang atau malah sudah bertambah karena beranak.
Jadi, sejak awal kehidupan manusia matematika itu merupakan alat bantu untuk mengatasi sebagian permasalahan menghadapi lingkunga hidupnnya. Sumbangan matematika terhadap perkembangan IPA sudah jelas, bahkan boleh dikatakan bahwa tanpa matematika IPA tidak akan berkembang[12][12].
c.       IPA Kualitatif dan Kuantitatif
Telah kita ketahui bahwa penemuan-penemuan yang didapat oleh Copernicus sampai Galileo pada awal ke-17 merupakan perintis ilmu pengetahuan. Artinya ialah bahwa penemuan-penemuan itu berdasarkan empiri dengan metode induksi yang obyektif dan bukan atas dasar deduksi filosofik seperti pada zaman Yunani yang berdasakan mitos seperti pada zaman Babylonia[13][13].
Penemuan-penemuan semacam ini kita sebut sebagai ilmu pengetahuan alam yang sifatnya kualitatif. Ilmu pengetahuan Alam yang kualitatif ini tidak dapat menjawab pertanyaan yang bersifatnya kausal atau hubungan sebab akibat, ilmu pengetahuan alam kualitatif itu hanya mampu menjawab pertanyaan tentang hal-hal yang sifatnya faktual.
Untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan tentang hal-hal yang sifatnya kausal, diperlukan perhitungkan secara kuantitatif.
Contoh: Misalnya, seseorang memelihara itik dengan makanan tradisional biasa, itik betelur 15 butir dalam sebulan. Kemudian orang itu menambahkankan keong racun sebagai makanan tambahan bagi itiknya bertelur lebih banyak, yaitu 20 butir sebulan. Dari kenyataan ini belum dapat ditarik kesimpulan adanya keong racun menambah telur itiknya, karena masih besifat kasus, artinya mungkin saja itu suatu kebetulan terjadi pada seekor itik (kasus).
Jadi ilmu pengetahuan alam kuantitatif adalah Ilmu Pengetahuan Alam yang dihasilkan oleh metode ilmiah yang didukung oleh kuantitatif dengan menggunakan statistik. Ilmu Pengetahuan Alam kuantitatif ini dapat disebut juga sebagai Ilmu Pengetahuan Alam Modern[14][14].

BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Segala yang diketahui oleh manusia itu adalah “pengetahuan” pengetahuan itu dapat digolongkan menjadi dua bagian : Pengetahuan Ilmia dan Non Ilmia. Pengetahuan Non Ilmiah didapat dari perangsangka, coba-coba, intuisi, dan tidak sengajah.
Pengetahuan ilmia ini didapat dari usaha yang dasar (Sengaja) dengan syarat : Objektif, Metodik, sistematik, dan berlaku umum. Adapun langka metodeilmia itu adalah :
1.      Perumusan masalah
2.      Penyusunan Hipotesis
3.      Pengujian Hopotesis
4.      Penarikan kesimpulan
Kelemahan metode ilmia termasuk IPA adalah bahwa metode ilmia tidak dapat menjawab atau memperoleh kesimpulan dalam hal-hal yang menyangkut keindahan, sitem penilaian baik dan Buruk, serta agama yang berasal dari wahyu ilahi.
Adapun keunggulan metode ilmiah antara lain adalah dapat membuat kita menjadi :
1.      Obyektif dan universal
2.      Menceritakan kebenaran
3.      Tidak percaya pada tahayul
4.      Mempunyai pikiran yang terbuka
5.      Tidak percaya begitu saja kepada pendapat sebelum ada bukti yang nyata
6.      Bersikap optimis, teliti dan berani karena benar
Peranan matematika dalam IPA antara lain sebagai faktor penunjang untuk memahami alam semesta dan dapat menjelaskan sesuatu dan tidak dapat dijangkau oleh pengalaman empiri. Antara lain dapat menghitung besarnya bumi, jarak antara bumi dan bulan, jarak antara bumi dan matahari, peredaran bumi menngelilingi matahari dan sebagainya.
IPA dapat dibedakan antara IPA kualititatif dan IPA kuantitatif atas dasar satu penarikan kesimpulan statistik. IPA kuantitatif disebut juga IPA Medern yang dapat menjawab pertanyaan yang besifat kualitatif melalui analisis matematika probabilitas atau statistik itu
B.     Saran
Dengan adanya makalah ini, diharapkan pada mahasiswa, khususnya bagi sipenulis sendiri agar lebih muda memahami sedara mendalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan materi yang dikaji kedalam IAD, antara lain memahami konsef-konsef dasar penalaran mahasiswa dalam akses tensinya sebagai telektual Muslim
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masi banyak terdapat kekurangan dan kehilapan oleh karena itu, kepada para pembaca dan para pakar utama penulis mengharapkan saran dan kritik ataupun tegur sapa yang sifatnya membangun akan diterima dengan senang hati demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
Kepada semua pihak khususnya kepada Dosen Pmebimbing yang telah memberikan saran dan keritik konstruktif demi kesempurnaan makalah ini terutama kami ucapkan Terima Kasih.









DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aly, dkk. 2011. Ilmu Alamiah Dasar, Jakarta : PT Bumi Aksara. 
Ibnu Mas’ud, dkk. 1998. Ilmu Alamiah Dasar, Bandung : CV Pustaka Setia.
Jasin Maskoeri. 1987. Ilmu Alamiah Dasar, Jakarta : PT Rajagrapindo Persada.
Mawardi, dkk. 2002. IAD, IBD, ISD, Bandung :  Pustaka Setia.
Hidayat Bambang. 1983. Pengantar Ruang Hidup IPA, Solo : UNS.
Tim UNS, 1988. Ilmu Alumni Dasar I-II-III, Solo : UNS.
MT Zen, 1983. Dampak Perkembangan IPA dan Tetnologi Terhadap Kehidupan Manusia, Jakarta : PT Gramedia.
Margono, dkk. 1982. Ilmu Alamiah Dasar, Surakarta :  UNS.
Rosmin Mien, dkk. 1986. Ilmu Alamia Dasar, Semarang : IKIP.
Darmodjo Hendro. 1986. Ilmu Alamiah Dasar, Jakarta : Modul 1-3, Karunika.



















0 komentar:

Post a Comment