DR Yusuf Al Qardhawi dalam Fatawa
Mu’ashirah, menjelaskan 9 perbedaan tajam antara Ahlus Sunnah yang moderat
dengan Syi’ah Imamiyah Itsna Asy’ariah/12 Imam. Berikut ini fatwa beliau:
1. Sikap Syi’ah terhadap Al Qur`an.
Sikap mereka terhadap Al Qur`an
seperti yang telah saya jelaskan berulang-ulang kali bahwa mereka tetap percaya
dengan Al Qur`an yang kita hafal. Mereka berkeyakinan bahwa Al Qur`an adalah
firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mushaf yang dicetak di Iran dengan mushaf
yang dicetak di Mekah, Madinah dan Kairo adalah sama. Al Qur`an ini dihafal
oleh anak-anak Iran di sekolah-sekolah agama (madrasah/pesantren) di sana. Para
ulama Iran juga mengutip dalil-dalil Al Qur`an di dalam masalah pokok-pokok dan
furu di dalam ajaran Syi’ah yang telah ditafsirkan oleh para ulama mereka di
dalam kitab-kitabnya. Namun masih tetap ada di antara mereka yang berkata,
“Sesungguhnya Al Qur`an ini tidak lengkap. Karena ada beberapa surat dan ayat
yang dihilangkan dan akan dibawa oleh Al Mahdi pada saat dia muncul dari
persembunyiannya.”
Mungkin saja sebagian besar ulama
mereka tidak mempercayai hal ini. Sayangnya mereka tidak mengkafirkan orang
yang telahmengatakan hal di atas. Inilah sikap yang sangat berbeda dengan sikap
Ahlu Sunnah, yaitu barangsiapa yang meyakini telah terjadi penambahan dan
pengurangan terhadap Al Qur`an, maka dengan tidak ragu lagi, kami akan cap dia
sebagai orang kafir.
Padahal keyakinan seperti ini
terdapat di dalam kitab-kitab rujukan mereka, seperti Al Kaafiy yang sebanding
dengan kitab Shahih Al Bukhari bagi Ahlu Sunnah. Kitab ini telah dicetak dan
diterjemahkan laludidistribusikan ke seluruh dunia tanpa ada penjelasan apa-apa
di dalamnya. Ada pepatah di masyarakat, “Orang yang diam terhadap kebatilan,
sama dengan orang yang membicarakannya.”
2. Sikap Syi’ah terhadap As
Sunnah
Definisi As Sunnah menurut Ahlu
Sunnah adalah sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah
dimaksum oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan Dia perintahkan umat Islam untuk
menaati beliau di samping taat kepada-Nya.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala
berfirman, “Katakanlah, “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; jika
kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul (Muhammad) itu hanyalah apa
yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu hanyalah apa yang dibebankan
kepadamu. Jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk,” (QS An Nur
[24]: 54). ”dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat,”(QS
An Nur [24]: 56). “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),”(QS An Nisa [04]: 59). “Katakanlah (Muhammad),
“Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak
menyukai orang-orang kafir,” (QS Ali Imran [03]: 32). “Barangsiapa menaati
Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barangsiapa
berpaling (dari ketaatan itu), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu
(Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka,” (QS An Nisa [04]: 80). “Dan
tidaklah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut keinginannya. Tidak lain (Al
Qur’an itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (QS An Najm [53]: 3-4)
dan ayat-ayat yang lainnya.
Akan tetapi batasan As Sunnah
menurut Syi’ah adalah sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para
imam mereka yang maksum. Maksudnya,sunnah mencakup bukan hanya sunnah
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melainkan jugasunnah kedua belas imam
mereka. Imam mereka yang 12 orang tersebut wajib ditaati sebagaimana taat
kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan rasul-Nya yang dikuatkan dengan wahyu.
Mereka telah menambahkan perintah Al Qur`an untuk taat kepada Allah Subhanahu
Wa Ta’ala dan rasul-Nya yaitu agar taat kepada makhluk yang Allah Subhanahu Wa
Ta’ala sendiri tidak memerintahkannya. Lebih dari itu, kita mengkritik Syi’ah
karena telah meriwayatkan sunnah dari orang-orang yang tidak tsiqah
(terpercaya) karena tidak memenuhi unsur keadilan dan kesempurnaan hafalan.
Oleh karena itu, kitab-kitab
rujukan Ahlu Sunnah tidak diterima oleh mereka. Mereka tidak mau menerima kitab
Shahih Bukhari, Muslimdan Kutub Sittah lainnya, tidak mau menerima kitab
Al Muwatha,Musnad Ahmad dan kitab-kitab yang lainnya.
3. Sikap Syi’ah terhadap Para
Sahabat
Pandangan negatif mereka terhadap para
sahabat merupakan pokok dan dasar ajaran Syi’ah. Sikap mereka itu adalah
turunan dari pokok ajaran mereka yang meyakini bahwa, Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi wa Sallam telah berwasiat jika beliau wafat, maka Ali bin Abi Thalib
adalah pengganti beliau.
Akan tetapi para sahabat menyembunyikan wasiat ini dan
mereka merampas hak Ali ini secara zalim dan terang-terangan. Para sahabat
telah berkhianat terhadap Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang menjadi
wasilah mereka mendapatkan petunjuk dan mereka hidup di zaman beliau untuk
menolongnya walaupun dengan nyawa dan segala yang mereka miliki.
Yang mengherankan, apakah mungkin
para sahabat bersekongkol untuk melakukan hal ini, sementara Ali Radhiyallahu
‘Anh –sang pemberani- hanya bisa diam saja tidak berani mengumumkan haknya ini.
Justru Ali malah ikut membaiat Abu Bakar, Umar dan kemudian Utsman. Ali tidak
berkata kepada salah seorang dari mereka itu, ”Sesungguhnya aku mempunyai
wasiat dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Akan tetapi, mengapa
kalian bersikap seolah-olah tidak tahu?
Mengapa kalian hanya bermusyawarah
dengan enam orang saja dan kalian menyibukkan diri kalian sendiri? Siapakah
orangnya yang harus memilih sedangkan umat Islam telah menetapkan hal ini
dengan wasiat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam?” Mengapa Ali tidak mau
menjelaskan hal ini? Kemudian, jika memang Al Hasan bin Ali benar-benar telah
tercatat sebagai khalifah setelah Ali karena ada wasiat Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wa Sallam, tapi mengapa justru Al Hasan mengalah dan memberikan jabatan
khalifah ini kepada Mu’awiyah? Mengapa Al Hasan melakukan hal ini, padahal ini
merupakan perintah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala? Dan mengapa justru
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam di dalam haditsnya (hadits ramalan
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam) memuji sikap Al Hasan ini?
Pertanyaan ini tidak bisa dijawab
sama sekali oleh mereka.
Inilah tuduhan palsu mereka
terhadap para sahabat yang tidak terbukti. Keterangan mereka ini sangat
bertentangan dengan keterangan yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebutkan di dalam
beberapa surat Al Qur`an. Seperti di akhir surat Al Anfal, surat At Taubah,
surat Al Fath di pertengahan di akhirnya, surat Al Hasyr dan surat-surat
lainnya.
Demikian pula As Sunnah telah
memuji para sahabat baik secara umum maupun secara khusus. Juga zaman mereka
itu dianggap sebagai sebaik-baik zaman setelah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa
Sallam.
Juga apa yang dicatat oleh sejarah
tentang mereka. Mereka adalah orang-orang yang telah menghafal Al Qur`an dan
dari mereka lah umat menukilnya. Mereka juga adalah orang-orang yang telah
menukil As Sunnah dan menyampaikan apa yang mereka nukil dari Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam baik perkataan, perbuatan maupun persetujuan
beliau kepada umat ini.
Mereka juga adalah orang-orang yang
telah melakukan futuh (pembebasan negeri lain dengan damai) dan membimbing umat
ini menuju tauhid Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan risalah Islam. Mereka juga
telah mempersembahkan kepada bangsa-bangsa yang dibebaskannya contoh-contoh
teladan Qur’ani yang dijadikan sebagai petunjuk.
4.Imamah Ali dan Keturunannya yang
Berjumlah 12 Imam Adalah Pokok Ajaran
Syi’ah. Barangsiapa yang Menolak, maka Dia Dicap Kafir.
Di antara masalah akidah Syi’ah
Imamiyah Itsna ’Asyariyah yang bertentangan dengan Ahlu Sunnah adalah,
keyakinan Syi’ah bahwa kepemimpinan Ali dan keturunannya dari garis Husein
merupakan pokok-pokok keimanan, seperti beriman kepada Allah Subhanahu Wa
Ta’ala, beriman kepada para malaikat-Nya, beriman kepada kitab-kitab-Nya,
beriman kepada para rasul-Nya dan beriman kepada hari akhir. Tidak sah dan
tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala iman seorang muslim, jika
dia tidak beriman bahwa Ali adalah khalifah yang ditunjuk oleh Allah Subhanahu
Wa Ta’ala. Demikian juga halnya dengan 11 imam keturunan Ali bin Abi Thalib.
Barangsiapa yang berani menolak hal ini atau meragukannya, maka dia adalah
kafir yang akan kekal di neraka. Seperti inilah riwayat-riwayat yang tercantum
di dalam Al Kaafiy dan kitab-kitab lainnya yang mengupas masalah akidah mereka.
Atas dasar inilah, sebagian besar
kaum Syi’ah mengkafirkan Ahlu Sunnah secara umum. Hal ini dikarenakan akidah
Ahlu Sunnah berbeda dengan akidah mereka (Syi’ah). Bahkan Ahlu Sunnah tidak
mengakui akidah seperti ini dan menganggap bahwa akidah ini adalah batil dan
dusta atas nama Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan rasul-Nya.
Bahkan Syi’ah juga mengkafirkan
para sahabat yang tidak mengakui imamah Ali Radhiyallahu ‘Anh. Mereka juga
mengkafirkan tiga orang khulafa rasyidin sebelum Ali yaitu Abu Bakar, Umar dan
Utsman dan para sahabat lain yang mendukung ketiga orang khalifah ini. Kita ketahui
bahwa semua para sahabat telah meridhai tiga khulafa rasyidin, termasuk Ali bin
Abi Thalib yang pada saat itu Ali lah orang terakhir membaiat Abu Bakar.
Kemudian Ali berkata, ”Sesungguhnya kami tidak mengingkari keutamaan dan
kedudukan Anda wahai Abu Bakar. Akan tetapi kami dalam hal ini mempunyai hak
karena kami adalah kerabat (keluarga) Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.”
Akan tetapi Ali tidak menyebutkan bahwa diamempunyai nash wasiat dari Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dan Rasul-Nya.
Sedangkan kami Ahlu Sunnah
menganggap bahwa masalah imamah dan yang berkaitan dengannya termasuk ke dalam
furu’ dan bukan termasuk pokok-pokok akidah Islam. Masalah ini lebih baik
dikaji di dalam kitab-kitab fiqih dan muamalah dan bukan dikaji di dalam
kitab-kitab akidah dan pokok-pokok agama. Walaupun dengan sangat terpaksa para
ulama Ahlu Sunnah membicarakan masalah ini di dalam kitab-kitab akidah untuk
membantah seluruh ajaran Syi’ah di dalam masalah ini.
Syaikh Muhammad ‘Arfah, seorang
anggota Lembaga Ulama Senior Al Azhar pada zamannya, telah menukil dari
kitab-kitab akidah milik Syi’ah Imammiyah Itsna ’Asyariyyah sebagai penguat apa
yang kami ucapkan tentang mereka. Beliau berkata, ”Jika kita mau mengkaji kitab-kitab
akidah milik orang-orang Syi’ah, maka kita akan menemukan adanya kesesuaian
atas riwayat-riwayat yang mereka sampaikan. Kita pun bisa langsung menukil
ajaran mereka yang kita anggap sebagai ajaran yang sangat berbahaya yaitu
masalah imamah, ajaran mengkafirkan para sahabat dan tiga orang khulafa rasyidin.
Mereka terus mengkafirkan kaum muslimin sejak Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam wafat sampai hari ini. Hal ini disebabkan kaum muslimin tidak pernah
mengakui imamah Ali dan 12 imam mereka. Hal ini seperti yang kami kutip dari
penghulu ahli hadits Abi Ja’far Ash-Shaduq Muhammad bin Ali bin Husein bin
Babawaih Al Qummi yang meninggal dunia pada tahun 381 Hijriyah yang merupakan
ahli hadits kedua dari tiga ahli hadits (Syi’ah) yang juga dia itu adalah
pengarang kitab yang berjudul, “Man La Yahdhuruh Al Faqih”, salah satu kitab
dari empat kitab rujukan Syi’ah di dalam masalah pokok-pokok ajaran mereka. Dia
berkata, ”Kami berkeyakinan pada orang-orang yang menolak imamah Ali bin Abi
Thalib dan seluruh imam setelah beliau adalah seperti orang-orang yang menolak
nubuwah (kenabian) para nabi. Kami juga berkeyakinan bahwa orang-orang yang
mengakui imamah Ali dan menolak satu dari imam setelah Ali adalah seperti
orang-orang yang mengakui/beriman kepada para nabi akan tetapi mereka menolak
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam.”Dia juga berkata di dalam “Risalat
Al I’tiqadat”, bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,
”Barangsiapa yang menolak imamah Ali setelah aku (Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wa Sallam), artinya dia telah menolak kenabianku dan barangsiapa yang menolak
kenabianku, artinya dia telah menolak rububiyah Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam telah bersabda, ”Wahai Ali, Sesungguhnya
kelak setelah aku wafat, engkau itu akan dizhalimi. Barangsiapa yang
menzhalimimu, sama dengan dia telah menzhalimi aku; barangsiapa yang bersikap
adil terhadapmu, sama dengan dia telah bersikap adil terhadap aku; dan
barangsiapa yang menolakmu, sama dengan menolak aku.”
Imam Shadiq AS berkata, ”Orang yang
menolak imam terakhir kami, sama dengan menolak imam pertama kami.”
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda, ”Para imam setelah aku ini ada berjumlah dua belas orang. Imam
yang pertama adalah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib AS, dan imam yang terakhir
adalah Al Mahdi. Menaati mereka sama dengan menaati aku dan bermaksiat kepada
mereka sama dengan bermaksiat kepada aku. Barangsiapa yang menolak salah
seorang dari mereka, sama dengan menolak aku.” Imam Shadiq berkata,
”Barangsiapa yang meragukan tentang kekufuran musuh-musuh kami dan sikap zhalim
mereka terhadap kami, maka dia dianggap telah kafir.”[1]
5. Dakwaan Wasiat dari Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Ali
Dakwaan adanya wasiat dari
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk Ali menjadi khalifah setelah
beliau wafat –seperti keyakinan Syi’ah- sungguh telah merampas hak kaum
muslimin untuk memilih pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Itulah wujud
pengamalan terhadap perintah musyawarah yang telah dijadikan oleh Allah
Subhanahu Wa Ta’ala sebagai ciri khas kaum muslimin,”Sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka,” (QS Asy Syura [42]: 38).
Seolah-olah dengan adanya wasiat
itu, umat Islam terbelakang selamanya, sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala harus
menentukan siapa orangnya yang berhak mengurusi dan memimpin umat Islam. Juga
diharuskan orang yang memimpin umat Islam ini datang dari rumah tertentu dan
dari keturunan tertentu dari keluarga rumah ini. Padahal semua manusia adalah
sama. Yang jelas bahwa yang berhak memimpin umat Islam adalah orang yang
diterima (diridhai) oleh umat Islam dan dia mampu untuk memikul amanah ini dan
menakhodai umat ini.
Saya yakin jika Negara Islam yang
dipersepsikan oleh Ahlu Sunnah adalah bentuk Negara Islam ideal yang telah
digambarkan oleh Al Qur`an dan As Sunnah yang shahih. Yaitu sangat sesuai
dengan yang diinginkan oleh masyarakat dunia pada saat ini bahwa rakyat berhak
menentukan nasibnya sendiri, tidak menganut teori negara Teokrasi atau sebuah
sistem yang mana negara dikuasai oleh pemerintahan berasaskan agama (tertentu)
atas nama Pemerintahan Langit yang membelenggu leher masyarakat dan hati nurani
mereka. Semua lapisan masyarakat tidak kuasa atas diri mereka sendiri kecuali
harus mengatakan, ”Kami mendengar dan kami taat!”
Keyakinan Syi’ah ini dibantah oleh
takdir Allah, di mana Imam yang ke-12 mereka sedang bersembunyi, seperti yang
mereka yakini. Akhirnya, umat manusia ditinggalkan tanpa imam maksum lebih dari
11 abad. Bagaimana mungkin Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan membiarkan umat
manusia tanpa imam yang akan membimbing mereka? Ternyata mereka (orang-orang
Syi’ah) berkata, ”Kami masih mempunyai Al Qur`an dan As Sunnahuntuk membimbing
kami” ketahuilah, justru kami (Ahlu Sunnah) sejak dahulu sudah mengatakan hal
ini.
6. Superioritas Kelompok Tertentu
atas Seluruh Umat Manusia
Keyakinan orang-orang Syi’ah
dibangun atas dasar rasa superioritas (merasa paling lebih) dari seluruh
makhluk Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mereka merasa mempunyai karunia yang sangat
besar jika dilihat dari penciptaannya. Mereka ini berhak untuk mengatur orang
lain walaupun mereka tidak memilihnya. Hal ini dikarenakan telah menjadi
keputusan langit.
Pemikiran seperti ini sangat
bertentangan dengan ajaran Islam secara umum. Hal ini disebabkan seluruh
manusia adalah sama seperti deretan sisir. Hanya ada satu Rabb bagi seluruh
umat manusia dan memiliki nenek moyang yang sama yaitu Adam ‘Alaihis Salam.
Mereka semua diciptakan dari bahan yang sama, yaitu sperma. Oleh karena itu,
tidak ada rasa superioritas seorang manusia atas manusia yang lain kecuali
dengan taqwanya.
Hal ini seperti yang telah dijelaskan di dalam Al Qur`an,
“Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui,
Mahateliti,” (QS Al Hujurat [49]: 13).
Sesungguhnya manusia itu diutamakan
atas yang lainnya hanya karena amal perbuatan, dan bukan karena faktor
keturunan. Sebab siapa yang amalnya lambat, maka nasabnya tidak akan
mempercepat langkahnya meraih ridha-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
”Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara
mereka pada hari itu (hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya,”
(QS Al Mu`minun [23]: 101). Kemudian Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan
bahwa yang akan menghukumi umat manusia di hari Kiamat adalah Al Mizan yang tidak
akan menzhalimi seorang pun. Manusia lah yang memilih para pemimpin dalam
bingkai musyawarah. Manusia berbaiat kepada para pemimpin dengan syarat jangan
melanggar batasan-batasan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan hak-hak manusia.
Hanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
wa Sallam saja satu-satunya orang yang dipilih oleh wahyu, ”Allah lebih
mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan-Nya,” (QS Al An’am [06]:
124). Selain beliau, hanya manusia biasa dan tidak dipilih oleh wahyu.
Kemudian kenyataan sejarah
menunjukkan bahwa orang-orang yang mengaku berhak menduduki sebuah jabatan
pemerintahan atas dasar nash (Al Qur`an/As Sunnah), ternyata mereka itu tidak
menduduki jabatan apa-apa. Justru mereka hidup seperti manusia pada umumnya
(rakyat biasa), mendapatkan persamaan di dalam hukum. Kecuali Ali bin Abi
Thalib yang dibaiat oleh kaum muslimin menjadi khalifah. Karena jika dilihat
dari sisi keilmuan, beberapa imam ‘maksum’ keturunan Ali tidak dikenal sebagai
orang yang unggul kecerdasannya dan layak menjadi imam. Namun ada sebagian dari
keturunan Ali termasuk ke dalam tokoh besar di bidang fiqih, seperti Muhammad
Al Baqir dan Ja’far Ash-Shadiqseperti imam-imam fiqih lainnya.
7.
Penyebaran Bid’ah di Kalangan Syi’ah
Di antara yang harus diperhatikan
dari Syi’ah yaitu terjadinya penyebaran bid’ah yang mengandung kemusyrikan di
kalangan para pengikut Syi’ah. Mereka menyembah kuburan dan situs-situs para
imam dan syaikh mereka. Mereka berani bersujud ke kuburan, meminta pertolongan
kepada ahli kubur dan berdoa meminta kebaikan untuk para peziarahnya dan supaya
terbebas dari segala macam marabahaya. Menurut mereka bahwa para ahli kubur
tersebut bisa mendatangkan manfaat dan bahaya, bisa membuat miskin dan kaya
seseorang dan bisa membuat seseorang senang maupun sengsara.
Saya (Syaikh Yusuf Al Qardhawi)
pernah melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana para peziarah kuburan Imam
Ridha bersujud sambil merangkak ke arah kuburan beliau dari jarak sepuluh
meteran. Tentu hal ini bisa terjadi dikarenakan kerelaan dan anjuran dari para
ulama Syi’ah.
Hal ini berbeda dengan perilaku
orang-orang awam Ahlu Sunnah pada saat mereka melakukan ziarah ke kuburan para
wali dan Ahlul Bait yang kedapatan berperilaku menyimpang dan bid’ah. Akan
tetapi, perilaku ini ditolak keras oleh para ulama Ahlu Sunnah. Inilah
perbedaan yang mendasar antara kami (para ulama Ahlu Sunnah) dengan mereka
(para ulama Syi’ah). Yaitu para ulama Ahlu Sunnah mengecam perilaku munkar yang
dilakukan oleh orang-orang awam. Bahkan ada sebagian para ulama Ahlu Sunnah yang
mengafirkan perilaku orang-orang awam ini. Akan tetapi perilaku munkar dan
syirik yang dilakukan oleh orang-orang awam Syi’ah adalah diridhai dan mendapat
dukungan dari para ulama mereka.
8. Syi’ah Melakukan Distorsi
Sejarah
Sesungguhnya Syi’ah telah
menjelek-jelekkan para sahabat, tabiin, dan para pengikut mereka. Juga mereka
berani merubah alur sejarah umat Islam sejak zaman yang paling baik (zaman
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya dan generasi
setelah ini). Yaitu zaman terjadinyafutuh (pembebasan negeri dengan cara damai)
dan kemenangan gilang gemilang serta berbondong-bondongnya umat manusia masuk
Islam. Juga terbangunnya kebudayaan yang mengacu kepada ilmu pengetahuan, iman
dan akhlaq juga umat Islam ini mempunyai sejarah yang sangat gemilang. Sekarang
umat Islam mencoba untuk bangkit kembali dengan cara berkaca kepada sejarahnya,
menyambungkan masa sekarang dengan zaman dahulu. Menjadikan kemuliaan para
pendahulu umat Islam sebagai figur untuk
mendorong generasi muda kini untuk maju dan jaya.
Sedangkan sejarah orang-orang
Syi’ah dipenuhi dengan kegelapan. Inilah yang mendorong saya untuk menulis
sebuah buku berjudul, “Tarikhuna Al Muftara ‘Alayhi” -Sejarah Kita yang
Diselewengkan-. Buku ini mengupas sejarah yang benar dan membantah seluruh
tuduhan busuk orang-orang Syi’ah. Buku saya ini membuat orang-orang Syi’ah
gerah. Kemudian salah seorang Syi’ah menulis sebuah buku membantah buku saya
ini. Dia berkata, ”Yusuf Al Qardhawi ini Wakil Allah Subhanahu Wa Ta’ala atau
Wakil Bani Umayyah?”[2]
9. Ajaran Taqiyyah
Di antara ajaran Syi’ah yang
menyangkut akhlaq adalah menjadikan Taqiyyah sebagai dasar dan pokok ajaran di
dalam berinteraksi dengan orang lain. Mereka selalu melakukan Taqiyyah, yaitu
menampakkan sesuatu yang berbeda dengan yang ada di dalam hati. Mereka itu
mempunyai dua wajah. Wajah yang pertama dihadapkan ke sekelompok orang dan
wajah yang lainnya dihadapkan ke kelompok yang satunya lagi. Mereka juga
mempunyai dua lidah.
Mereka berdalih dengan firman Allah
Subhanahu Wa Ta’ala, ”Janganlah orang-orang beriman menjadikan orang kafir
sebagai pemimpin, melainkan orang-orang beriman. Barangsiapa berbuat demikian,
niscaya dia tidak akan memperoleh apa pun dari Allah, kecuali karena (siasat)
menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka,” (QS Ali Imran [03]:
28). Akan tetapi, dengan sangat jelas ayat menerangkan bahwa dibolehkannya
Taqiyyah adalah pada saat darurat yang memaksa seorang muslim harus melakukan
hal ini (Taqiyyah) karena takut dibunuh atau ada bahaya besar yang
mengancamnya. Keadaan seperti ini masuk ke dalam pengecualian, seperti firman
Allah Subhanahu Wa Ta’ala, ”Barangsiapa kafir kepada Allah setelah dia beriman
(dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman,” (QS An Nahl [16]: 106).
Pengecualian ini tidak bisa
dijadikan sebagai acuan di dalam bermuamalah. Hal ini (Taqiyyah) boleh
dilakukan pada saat darurat, yang mana keadaan darurat bisa menghalalkan
sesuatu yang terlarang. Akan tetapi tetap harus dihitung secara cermat. Untuk
orang lain yang tidak terpaksa, tidak boleh melakukan hal ini. Karena sesuatu
yang terjadi atas dasar pengecualian tidak bisa dikiaskan.
Akan tetapi Syi’ah Imamiyah
menjadikan Taqiyyah ini sebagai dasar di dalam muamalah mereka karena para imam
mereka membolehkan hal tersebut. Dari Ja’far Ash Shadiq bahwasanya dia telah
berkata ”Taqiyyah adalah agamaku dan agama leluhurku.” Ibnu Taimiyyah berkata
mengomentari ucapan ini, ”Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menyucikan Ahlul Bait
dari hal ini dan mereka tidak memerlukan Taqiyyah. Karena mereka adalah
orang-orang yang paling jujur dan paling beriman. Oleh karena itu, agama mereka
adalah Taqwa dan bukan Taqiyyah.”[3]
__________________________________
[1] Padahal semua ini adalah
hadits-hadits palsu yang dibuat oleh mereka sendiri.
[2] Buku ini ditulis oleh seorang
Syi’ah asal Mesir yang bernama Dr. Ahmad Rasim An Nafis.
[3] Lihat kitab Al Muntaqa min
Minhajil I’tidal, karya Imam Adz Dzahabi hal. 68.
Rep/Red: Shabra Syatila
Sumber: Fatawa Mu'ashirah
0 komentar:
Post a Comment