PERTAMA,
dalil yang menyatakan bahwa Allah itu ada di atas Arasy setidaknya ada 7 ayat
dalam Al Qur’an yang secara qath-i menjelaskan hal itu. Ia adalah: Surat Al
A’raaf ayat 54, Yunus ayat 3, Ar Ra’du ayat 13, Ar Rahman ayat 5, Al Furqan
ayat 59, As Sajadah ayat 4, dan Al Hadid ayat 4. Bahkan dalam Surat Al Baqarah
ayat 29 disebutkan: “Tsumma istawa ilas sama’i fasauwahunna sab’a samawaat” (kemudian
Dia istiwa menuju ke langit, lalu Dia ciptakan 7 tingkat langit). Sebagai orang
Muslim, sebelum kita berpikir masuk akal atau tidak, semestinya harus mengimani
ayat-ayat ini. Kalau tidak demikian, berarti kita membuat syarat-syarat dalam
keimanan kita. Misalnya, kalau masuk akal diimani, kalau tak masuk akal
ditolak. Janganlah demikian, sebab hal itu dianggap tidak tulus dalam beragama.
KEDUA,
dalam ajaran Islam banyak perkara yang bersifat ghaib. Ghaib bisa karena waktu
(misalnya peristiwa-peristiwa di masa lalu, atau di masa depan). Ghaib bisa
karena ruang (misalnya letaknya sangat jauh, atau sangat kecil, sehingga tak
tampak oleh penglihatan normal). Ghaib juga bisa karena wujudnya (misalnya ada
makhluk halus yang tak tampak, padahal mereka ada dan eksis, seperti jin,
Malaikat, ruh, dll.).
Di antara perkara ghaib itu ada yang Allah ajarkan, dan ada
pula yang tidak Dia ajarkan. Contoh, hanya sebagian saja dari ribuan Nabi dan
Rasul yang disebutkan kisahnya dalam Kitabullah dan Sunnah. Terhadap berita-berita
yang Allah ceritakan, ya kita imani; adapun yang tidak Dia ceritakan, kita
menahan diri untuk tidak masuk ke wilayah itu, agar tidak menjadi sesat karenanya. Na’udzubillah min
dzalik.
Informasi atau ilmu tentang dimana posisi Allah Ta’ala
sebelum Diri-Nya menciptakan langit dan Arasy, adalah termasuk hal-hal sangat
ghaib yang tidak diceritakan dalam Kitab-Nya. Kalau terhadap kisah Nabi-nabi
tertentu yang tidak dikisahkan dalam Al Qur’an, kita mau menahan diri untuk
tidak mengorek-ngorek kisah seperti itu; lalu bagaimana mungkin kita akan
mempertanyakan posisi Allah sebelum Dia menciptakan langit dan Arasy? Apa
perlunya? Kalau misalnya kita sudah tahu, apakah itu bisa meningkatkan
keimanan, atau membuat akal justru semakin liberal dengan fantasi-fantasi ala
Bani Israil lainnya?
KETIGA,
dalam Al Qur’an atau Sunnah dijelaskan, bahwa Allah Ta’ala bersemayam di atas
Arasy. Arasy itu ada di atas langit yang ke-7. Bagaimana cara Allah bersemayam
di atas Arasy, hal itu merupakan perkara ghaib. Kita tidak boleh mengatakan,
Allah disana “duduk”, “berdiri”, “menempel”, “mengambang”, dll. Karena memang
semua itu tak dijelaskan oleh-Nya dan oleh Nabi-Nya Shallallah ‘Alaihi
Wasallam. Termasuk pertanyaan, apakah Arasy itu berupa ruang, udara kosong,
dimensi nihil, atau apapun? Semua itu tidak usah dipikirkan dan ditanyakan.
Dengan sendirinya, jika Istiwa’ Allah di atas Arasy tak usah ditanyakan, maka
bagaimana keadaan Allah sebelum menciptakan Arasy, lebih tak perlu ditanyakan
lagi.
KEEMPAT,
munculnya pertanyaan, dimana Allah sebelum Dia menciptakan langit dan Arasy,
hal ini lahir karena kesalahan berpikir sangat fatal, yaitu sejak awal sudah
mempersepsikan Allah seperti makhluk. Misalnya, suatu saat kita melihat seekor
burung hinggap di pohon depan rumah. Maka pikiran logis kita akan segera
bergerak: “Dari mana nih burung? Kok pagi-pagi sudah nongol di depan rumah?”
Nah, untuk makhluk, kita bisa berpikir seperti itu, karena makhluk terikat oleh
hukum-hukum Sunnatullah yang berlaku atasnya. Dalam masalah makhluk kita selalu
berpikir “darimana ini”, “akan kemana”, “nanti menjadi apa”, “prosesnya
bagaimana”, dll. Tetapi untuk Allah Ta’ala, Dia terbebas dari semua
ikatan-ikatan hukum yang berlaku pada makhluk-Nya.
Kalau manusia memanjat, dia akan menjadi tinggi; kalau
terjun ke bawah, akan menjadi rendah; kalau berlari akan menjadi cepat; kalau
diam diri, dia tak bergerak; kalau kehujanan akan merasa dingin; kalau tertimpa
terik sinar matahari, akan kepanasan. Manusia atau makhluk terikat hukum-hukum
demikian. Tetapi Allah Ta’ala tidak terikat semua itu. Dia bisa berbuat apapun
yang Dia inginkan, sehingga ada ayat Al Qur’an yang berbunyi: “Idza arada
syai’an an yaqula lahu kun fa yakun” (kalau Dia menginginkan sesuatu, tinggal
mengatakan “kun” maka jadilah apa yang Dia inginkan itu).
Bersemayamnya Allah di atas Arasy adalah bagian dari
kehendak-Nya. Dia ingin apapun dan bagaimanapun, itu hak Dia sebagai Pencipta
alam semesta dan kehidupan. Kita sebagai manusia tak punya hak mencampuri
urusan Rububiyyah-Nya. Misalnya, sebelum menciptakan langit dan Arasy, Allah
berkehendak demikian dan demikian, maka semua itu hak-Nya belaka. Kita tak bisa
menolak atau mencampuri. Bila makhluk terikat oleh dimensi-dimensi, maka Allah
tak terikat apapun. Dia mandiri dan independen. “Allahus Shamad” (Allah,
bergantung kepada-Nya semua makhluk).
KELIMA,
dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa ada kalanya dalam diri manusia timbul
pikiran-pikiran aneh karena bisikan syaitan. Misalnya dia berpikir, bahwa alam
semesta ini diciptakan oleh Allah. Lalu siapa yang menciptakan Allah? Nabi
menasehatkan, kalau ada bisikan-bisikan seperti itu, seorang Muslim cukup
mengatakan, “Amantu billahi wa bi Rusulihi” (aku beriman kepada Allah dan
kepada Rasul-rasul-Nya). HR. Imam Ahmad.
Dzat Allah sangat berbeda dengan makhluk-Nya. Allah
menciptakan, tetapi tidak membutuhkan diciptakan. Allah adalah Awal, tetapi
tanpa diawali. Dia ada, tanpa diadakan. Dia adalah Akhir, tetapi tanpa
diakhiri. Allah bisa membolak-balikkan siang dan malam, gelap dan terang, panas
dan dingin, sesuka diri-Nya. Jadi kita tidak perlu bertanya, “Siapa yang
menciptakan Allah?” Sebab logika demikian hanya berlaku bagi makhluk-Nya. Allah
Ta’ala ada tanpa diadakan, Dia kuasa tanpa diberi kekuasaan, Dia mencipta tanpa
pernah terciptakan. Dia bisa membolak-balikkan dimensi-dimensi tanpa berkurang
sedikit pun Kemuliaan dan Keagungan-Nya. Dia Tinggi tanpa ada yang lebih tinggi
dari-Nya, Dia bisa turun tanpa menjadi lebih rendah. Allah tidak terikat
sifat-sifat makhluk-Nya.
Kalau manusia mencari hal-hal di luar semua itu, ingin
menerobos hakikat-hakikat seputar Sifat Rubibiyyah Allah; demi memuaskan hawa
nafsu akalnya, jelas dia akan binasa. Na’udzubillah min dzalik. Ketahuilah,
akal manusia dibatasi oleh hukum-hukum yang berlaku di alam semesta (universe).
Sedangkan Allah bebas dari semua hukum-hukum itu. Sekali-kali, jangan memahami
Allah dengan ukuran-ukuran makhluk-Nya.
KEENAM,
ada logika yang diyakini sebagian orang, “Kalau Allah di atas Arasy, lalu
dimana Dia sebelum Arasy itu diciptakan? Apakah Dia sebelumnya berada di suatu
“tempat”, kemudian pindah ke atas Arasy? Mungkinkah Dzat Allah
berpindah-pindah? Sungguh mustahil.” Logika demikian kan sangat kelihatan kalau
si penanya berpikir dalam dimensi makhluk. Dia ingin memahami Allah dengan
persepsi makhluk. Sebenarnya, Allah mau mengambil “posisi” dimanapun, itu hak
Dia. Andaikan Allah tidak menunjuki diri-Nya di atas Arasy, tidak ada masalah
bagi-Nya. Tetapi karena kasih-sayang Allah, di atas Keghaiban-Nya, Dia ingin
memudahkan manusia memahami keghaiban itu, maka Dia berkehendak istiwa’ di atas
Arasy. Dengan demikian, manusia mendapati satu kemudahan ketika ditanya “aina
Allah” (dimana Allah). Maka kita bisa menjawab secara pasti: Fis sama’i ‘alal
Arsy (di langit, di atas Arasy).
Mungkinkah Allah berpindah-pindah dari satu posisi ke
posisi lain? Mula-mula, Anda harus bebaskan Dzat Allah dari ikatan-ikatan yang
berlaku atas makhluk-Nya. Makhluk dibatasi oleh dimensi-dimensi, sedangkan
Allah bebas dari semua itu. Kemudian, ingat selalu bahwa Allah memiliki Sifat
Iradah (Maha Berkehendak). Kalau Allah berkehendak berbuat sesuatu, tidak ada
satu pun yang mampu menghalangi-Nya. Seperti sebuah doa yang diajarkan oleh
Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam: “Allahumma laa mani’a li maa a’thaita, wa laa
mu’thiya li maa mana’ta” (ya Allah, tidak ada yang sanggup menolak apa yang
Engkau berikan, dan tidak ada yang bisa menerima apa yang Engkau tolak).
Jika demikian, lalu bagaimana insan-insan yang lemah,
otak-otak yang bodoh, dan hawa nafsu yang meluap-luap ini, hendak menolak
Sifat-sifat Allah, jika Dia berkehendak terhadap sesuatu. Itulah bahayanya,
cara-cara Takwil itu nantinya kerap kali menjadi jalan untuk mengingkari
Sifat-sifat Allah. Mulanya Takwil, lama-lama menjadi Jahmiyyah atau Zindiqah
(atheis). Na’udzubillah wa na’udzubillah min kulli dalik.
KETUJUH,
para ulama sering mengatakan “tafakkaruu fi khalqillah wa laa tafakkaruu fi
dzatillah” (silakan berpikir tentang ciptaan Allah, namun jangan berpikir
tentang Dzat-Nya). Ungkapan seperti ini tidak mengada-ada. Bukannya manusia tak
boleh berpikir tentang Allah, tetapi otaknya tak akan bisa memahami Dzat Allah
dengan segala Sifat-Nya. Dalam Surat Al A’raaf ayat 143, Musa ‘Alaihissalam
pernah meminta ingin melihat Dzat Allah. Kemudian Allah berkata kepada Musa,
“Lan taraniy” (engkau tak akan sanggup melihat-Ku). Lalu Allah memperlihatkan
diri-Nya kepada gunung, seketika itu gunung tersebut hancur berkeping-keping
karena takut kepada Allah. Melihat gunung hancur, Musa langsung pingsan. Hal
ini merupakan batas demarkasi sifat kebebasan manusia dalam mendayagunakan
potensi dan kekuatan nalarnya. Manusia tak boleh melebihi ambang demarkasi itu,
agar otak dan kehidupannya tidak menjadi binasa. Nas’alullah al ‘afiyah.
Singkat kata, dimana kedudukan Allah sebelum menciptakan
langit dan Arasy, semua itu adalah keghaiban belaka. Sama ghaibnya dengan
bagaimana keadaan Allah beristiwa’ di atas Arasy. Kita tidak dibebani kewajiban
untuk menelisik masalah-masalah seperti itu. Akal kita tak akan sampai pada
kebenaran hakiki dalam hal seperti ini, kecuali kelak kita bisa tanyakan semua
itu kepada Allah Ta’ala di Akhirat nanti (dengan syarat, harus masuk syurga
dulu).
Dalam pertanyaan seperti ini tak ada penjelasan yang bisa
memuaskan akal secara sempurna, kecuali akal orang-orang beriman yang rela
mengimani Kitabullah dan As Sunnah; serta tidak menjadikan otak-nya sebagai
hukum dan agama, dalam kehidupan ini.
Semoga
bermanfaat, berkenan, dan mendapat barakah dari Allah Ta’ala. Allahumma amin.
Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
Wallahu
a’lam bisshawab.
0 komentar:
Post a Comment