Datangnya ujian atau azab dari Allah Swt hakikatnya dari perbuatan manusia itu sendiri. Jika manusia itu beriman kepada Allah Swt, tentu saja Allah akan memberikannya ujian entah itu berupa sakit atau hal lain yang tak pernah diduga sebelumnya.
Sebaliknya, Allah Swt akan memberikan azab bagi siapa saja hambaNya yang melampaui batas; senantiasa melanggar perintah-perintahNya dan ‘melaksanakan’ segala laranganNya. Bisa jadi azab itu diberikan sebagai upaya balasan baginya atas segala keangkuhannya dimuka bumi. Angkuh karena segalanya telah ia dapatkan. Angkuh karena dia merasa sudah lebih baik dari orang lain. Angkuh karena ia merasa sudah tidak butuh lagi bantuan orang lain.
Berikut adalah sebuah kisah nyata dari salah satu kota yang ada di tataran Pasundan, dimana seorang polisi menjadi hilang ingatan karena keangkuhannya. Untuk tetap menjaga privasi keluarga, maka semua nama dalam kisah ini redaksi samarkan.
Nano (30) tahun adalah seorang polisi yang bertugas di polsek. Layaknya seorang polisi, kegagahannya senantiasa ia tampilkan didepan siapa pun. Seolah dialah yang paling gagah dan berani. Kemana-mana ia senantiasa menyandang senjata laras panjangnya meski sekedar berkunjung ke rumah tetangga sebelah. Entah apa maksudnya ia bersikap seperti itu.
Melihat sikapnya yang senantiasa tak pernah lepas dari senjata setiap kali pergi, tentu warga menjadi agak kecut nyalinya apalagi memang Nano dikampungnya juga terkenal sebagai preman entah itu sebelum jadi polisi terlebih lagi setelah jadi polisi. Warga desanya tahu semua kalau Nanolah yang kadang membandari para pemuda kampong untuk pesta miras dan melakukan judi secara massal. Namun, tak satupun warga yang berani menegurnya karena ia seorang polisi. Warga berharap pada Ahmad (28) tahun adik sepupunya yang bisa menegurnya.
Ahmad, memang bukan lulusan pesantren tapi di mata warga, ia mempunyai akhlak yang baik dibanding Nano. Baik Nano maupun Ahmad, dalam keluarganya adalah sama-sama anak semata wayang. Wajah mereka pun mirip. Sebab ibunya Nano adik bapaknya Ahmad. Jadi, wajar sajalah kalau wajah mereka mirip.
Ahmad, memang lebih muda dua tahun disbanding Nano. Tapi Ahmad jauh lebih dewasa dibanding Nano. Suatu hari selepas lulus SMA, Ahmad langsung merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Alhamdulillah nasib Ahmad mujur, ia langsung dapat pekerjaan di sebuah Matahari, toko besar di bilangan Jakarta.
Bertahun-tahun Ahmad bekerja sebagai pelayan di Matahari itu. Karena dianggap jujur dan baik oleh bosnya, maka ia dipercaya sebagai pengawas bagi teman-temannya. Perlahan gaji bulanan Ahmad pun naik. Tak heran dari gaji masih sedikit juga, Ahmad sudah sering menyisikan sebagian untuk kedua orang tuanya di kampung. Apalagi sekarang gajinya sudah lumayan besar, tentu ia lebih banyak lagi memberikan untuk kedua orang tuanya.
Di lain pihak, Nano selepas SMA tidak mengikuti langkah Ahmad. Ia lebih senang menghabiskan waktunya untuk bergaul degan teman-temannya yang tidak benar. Pergi malam pulang pagi, tidak pernah diam dirumah jika malam tiba adalah hal biasa bagi Nano. Gaul bebas pun ia lakukan. Tak heran beberapa kali ia terlihat membawa wanita asing ke rumahnya. Orang tuanya bukan diam, tapi apa daya karena Nano sudah merasa besar jadi orang tuanya tak mau pula ambil resiko. Apalagi Nano orangnya suka emosi. “Saya khawatir
kalau negur terus, nanti dia marah-marah lagi,” kata Wati (55) ibunya.
Jadi Polisi
Suatu hari ada pendaftaraan menjadi polisi. Karena di dorong oleh teman-temannya, Nano yang memang punya badan tinggi besar akhirnya memaksa kepada orang tuanya untuk daftar polisi. Apa daya, orang tua yang tak mempunyai uang cukup besar membuat orang tua Nano. Karena Nano terus memaksa, akhirnya ibu Nano dengan sangat terpaksa meminjam uang kepada Ahmad di Jakarta yang sudah bekerja.
Sebagai saudara, Ahmad tentu tak tega membiarkan Nano sepupunya untuk meninggalkan begitu saja pluang menjadi polisi. Ahmad berharap setelah Nano menjadi polisi, ada dalam keluarga besarnya yang bisa dibanggakan. Ahmad pun mengambil semua tabungannya yang selama ini sudah ia tabung sejak awal masuk bekerja. Dengan perasaan senang, Ahmad pun mengirimkan uang untuk membantu Nano. Singkat cerita, Nano pun jadi polisi.
Buah Sombong
Setelah menjadi polisi, Nano bukan bersyukur malah prilakunya semakin menjadi-jadi. Kesombongan demi kesombongannya dia lakukan. Lebih parah lagi ia benar-benar lupa pada keluarga Ahmad yang juga adik sepupunya. Peristiwa itu pun terjadi. Suatu hari Ahmad teruji jatuh sakit. Akibatnya, ia terpaksa harus cuti dari kerja. Karena lama sakit dan belum kunjung sembuh, Ahmad pun di PHK dari tempatnya bekerja.
Orang tua Ahmad yang tak punya uang untuk mengobati sakitnya terpaksa harus memberanikan diri mencari pinjaman sana sini termasuk meminjam uang kepada Nano yang kini sudah “jadi orang”. Bak kacang lupa akan kulitnya, Nano sepeserpun tak mau membantu Ahmad. Bahkan dia tak pernah berkunjung walau sekedar menjenguk Ahmad.
Dengan sangat kecewa, orang tua Ahmad hanya bisa mengadukan nasib anak semata wayangnya kepada Allah. Mereka juga berdoa agar Allah membalas semua prilaku Nano yang membuat keluarga Ahmad begitu kecewa.
Makin hari prilaku Nano semakin menjadi. Mesti sebagai penegak hukum, Nano justru berprilaku sebaliknya; ia sering pulang larut malam dengan bau miras di mulutnya. Bahkan menurut warga kampung, Nano lebih sering pulang membawa wanita ke rumahnya. Tak urung orang tuanya sering kali dibuatnya malu.
Peristiwa naas itu pun dating. Suatu hari Nano pulang tengah malam dalam keadaan mabuk sambil mengendarai motornya. Tiba-tiba saat dipersimpangan jalan, Nano menambrak jembatan di dekat rumahnya. Seketika ia terjungkal dan tak sadarkan diri. Dari situ Nano segera dilarikan warga yang malam itu ronda ke rumah sakit terdekat. Setelah sekian lama dirawat, Nano tak jua kunjung sehat. Akhirnya ia hilang ingatan karena benturan keras kepalanya pada jalan raya. Ia bahkan tak ingat kepada orang tuanya sekalipun.
Akhirnya, Nano terpaksa pensiun dini dari tugasnya sebagai polisi. Kini Nano hanya bisa diam dan sehari-harinya hanya melamun.
Beda halnya dengan Ahmad. Kini ia sudah sembuh dan kembali bekerja. Ia tetap berbuat baik kepada Nano meski jika ingat perlakuannya begitu kejam. Hingga kini, Nano benar-benar tak bisa ingat siapa pun. Bahkan sekedar untuk mandi saja ia harus dimandikan oleh kedua orangtuanya.
Sebaliknya, Allah Swt akan memberikan azab bagi siapa saja hambaNya yang melampaui batas; senantiasa melanggar perintah-perintahNya dan ‘melaksanakan’ segala laranganNya. Bisa jadi azab itu diberikan sebagai upaya balasan baginya atas segala keangkuhannya dimuka bumi. Angkuh karena segalanya telah ia dapatkan. Angkuh karena dia merasa sudah lebih baik dari orang lain. Angkuh karena ia merasa sudah tidak butuh lagi bantuan orang lain.
Berikut adalah sebuah kisah nyata dari salah satu kota yang ada di tataran Pasundan, dimana seorang polisi menjadi hilang ingatan karena keangkuhannya. Untuk tetap menjaga privasi keluarga, maka semua nama dalam kisah ini redaksi samarkan.
Nano (30) tahun adalah seorang polisi yang bertugas di polsek. Layaknya seorang polisi, kegagahannya senantiasa ia tampilkan didepan siapa pun. Seolah dialah yang paling gagah dan berani. Kemana-mana ia senantiasa menyandang senjata laras panjangnya meski sekedar berkunjung ke rumah tetangga sebelah. Entah apa maksudnya ia bersikap seperti itu.
Melihat sikapnya yang senantiasa tak pernah lepas dari senjata setiap kali pergi, tentu warga menjadi agak kecut nyalinya apalagi memang Nano dikampungnya juga terkenal sebagai preman entah itu sebelum jadi polisi terlebih lagi setelah jadi polisi. Warga desanya tahu semua kalau Nanolah yang kadang membandari para pemuda kampong untuk pesta miras dan melakukan judi secara massal. Namun, tak satupun warga yang berani menegurnya karena ia seorang polisi. Warga berharap pada Ahmad (28) tahun adik sepupunya yang bisa menegurnya.
Ahmad, memang bukan lulusan pesantren tapi di mata warga, ia mempunyai akhlak yang baik dibanding Nano. Baik Nano maupun Ahmad, dalam keluarganya adalah sama-sama anak semata wayang. Wajah mereka pun mirip. Sebab ibunya Nano adik bapaknya Ahmad. Jadi, wajar sajalah kalau wajah mereka mirip.
Ahmad, memang lebih muda dua tahun disbanding Nano. Tapi Ahmad jauh lebih dewasa dibanding Nano. Suatu hari selepas lulus SMA, Ahmad langsung merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Alhamdulillah nasib Ahmad mujur, ia langsung dapat pekerjaan di sebuah Matahari, toko besar di bilangan Jakarta.
Bertahun-tahun Ahmad bekerja sebagai pelayan di Matahari itu. Karena dianggap jujur dan baik oleh bosnya, maka ia dipercaya sebagai pengawas bagi teman-temannya. Perlahan gaji bulanan Ahmad pun naik. Tak heran dari gaji masih sedikit juga, Ahmad sudah sering menyisikan sebagian untuk kedua orang tuanya di kampung. Apalagi sekarang gajinya sudah lumayan besar, tentu ia lebih banyak lagi memberikan untuk kedua orang tuanya.
Di lain pihak, Nano selepas SMA tidak mengikuti langkah Ahmad. Ia lebih senang menghabiskan waktunya untuk bergaul degan teman-temannya yang tidak benar. Pergi malam pulang pagi, tidak pernah diam dirumah jika malam tiba adalah hal biasa bagi Nano. Gaul bebas pun ia lakukan. Tak heran beberapa kali ia terlihat membawa wanita asing ke rumahnya. Orang tuanya bukan diam, tapi apa daya karena Nano sudah merasa besar jadi orang tuanya tak mau pula ambil resiko. Apalagi Nano orangnya suka emosi. “Saya khawatir
kalau negur terus, nanti dia marah-marah lagi,” kata Wati (55) ibunya.
Jadi Polisi
Suatu hari ada pendaftaraan menjadi polisi. Karena di dorong oleh teman-temannya, Nano yang memang punya badan tinggi besar akhirnya memaksa kepada orang tuanya untuk daftar polisi. Apa daya, orang tua yang tak mempunyai uang cukup besar membuat orang tua Nano. Karena Nano terus memaksa, akhirnya ibu Nano dengan sangat terpaksa meminjam uang kepada Ahmad di Jakarta yang sudah bekerja.
Sebagai saudara, Ahmad tentu tak tega membiarkan Nano sepupunya untuk meninggalkan begitu saja pluang menjadi polisi. Ahmad berharap setelah Nano menjadi polisi, ada dalam keluarga besarnya yang bisa dibanggakan. Ahmad pun mengambil semua tabungannya yang selama ini sudah ia tabung sejak awal masuk bekerja. Dengan perasaan senang, Ahmad pun mengirimkan uang untuk membantu Nano. Singkat cerita, Nano pun jadi polisi.
Buah Sombong
Setelah menjadi polisi, Nano bukan bersyukur malah prilakunya semakin menjadi-jadi. Kesombongan demi kesombongannya dia lakukan. Lebih parah lagi ia benar-benar lupa pada keluarga Ahmad yang juga adik sepupunya. Peristiwa itu pun terjadi. Suatu hari Ahmad teruji jatuh sakit. Akibatnya, ia terpaksa harus cuti dari kerja. Karena lama sakit dan belum kunjung sembuh, Ahmad pun di PHK dari tempatnya bekerja.
Orang tua Ahmad yang tak punya uang untuk mengobati sakitnya terpaksa harus memberanikan diri mencari pinjaman sana sini termasuk meminjam uang kepada Nano yang kini sudah “jadi orang”. Bak kacang lupa akan kulitnya, Nano sepeserpun tak mau membantu Ahmad. Bahkan dia tak pernah berkunjung walau sekedar menjenguk Ahmad.
Dengan sangat kecewa, orang tua Ahmad hanya bisa mengadukan nasib anak semata wayangnya kepada Allah. Mereka juga berdoa agar Allah membalas semua prilaku Nano yang membuat keluarga Ahmad begitu kecewa.
Makin hari prilaku Nano semakin menjadi. Mesti sebagai penegak hukum, Nano justru berprilaku sebaliknya; ia sering pulang larut malam dengan bau miras di mulutnya. Bahkan menurut warga kampung, Nano lebih sering pulang membawa wanita ke rumahnya. Tak urung orang tuanya sering kali dibuatnya malu.
Peristiwa naas itu pun dating. Suatu hari Nano pulang tengah malam dalam keadaan mabuk sambil mengendarai motornya. Tiba-tiba saat dipersimpangan jalan, Nano menambrak jembatan di dekat rumahnya. Seketika ia terjungkal dan tak sadarkan diri. Dari situ Nano segera dilarikan warga yang malam itu ronda ke rumah sakit terdekat. Setelah sekian lama dirawat, Nano tak jua kunjung sehat. Akhirnya ia hilang ingatan karena benturan keras kepalanya pada jalan raya. Ia bahkan tak ingat kepada orang tuanya sekalipun.
Akhirnya, Nano terpaksa pensiun dini dari tugasnya sebagai polisi. Kini Nano hanya bisa diam dan sehari-harinya hanya melamun.
Beda halnya dengan Ahmad. Kini ia sudah sembuh dan kembali bekerja. Ia tetap berbuat baik kepada Nano meski jika ingat perlakuannya begitu kejam. Hingga kini, Nano benar-benar tak bisa ingat siapa pun. Bahkan sekedar untuk mandi saja ia harus dimandikan oleh kedua orangtuanya.
0 komentar:
Post a Comment